LIPUTAN KHUSUS:

Soppeng paling Sedikit Bencana Ekologis di Sulsel, Terbanyak?


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Walhi Sulsel mencatat jumlah kejadian bencana ekologis di Sulsel sepanjang 2024 mencapai 362 kali. Total kerugian sekitar Rp1,9 triliun.

Ekologi

Kamis, 09 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sepanjang 2024, terdapat setidaknya 362 kali bencana ekologis terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel). Bencana ekologis tersebut berupa banjir hingga kebakaran hutan dan lahan. Demikian menurut Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2024 yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel.

“Berdasarkan temuan kami dari berbagai sumber yang diolah, sepanjang tahun 2024 setidaknya ada 362 kali bencana ekologis di Sulawesi Selatan dengan total kerugian mencapai Rp1,9 triliun,” kata Nurul Fadli Gaffar, salah satu penulis Catahu 2024, dalam sebuah keterangan, 2 Januari 2025.

Berdasarkan data yang dikumpulkan tim kajian Walhi Sulsel, per Januari hingga Desember 2024, 362 kejadian bencana ekologis ini melanda masyarakat di 24 kabupaten/kota di Sulsel, dengan jenis bencana ekologis berupa abrasi, banjir, banjir bandang, puting beliung, tanah longsor, tanah bergerak, kekeringan, hingga kebakaran hutan dan lahan.

Menurut data, Luwu menempati posisi teratas kabupaten dengan jumlah kejadian terbanyak, yakni 39 kali. Sebagian besar kejadian bencana di Luwu berupa banjir dan longsor. Di posisi kedua ditempati Kota Makassar dengan kejadian bencana 36 kali, yang didominasi oleh banjir yang sering terjadi di akhir tahun.

Banjir di Jalan Sultan Hasanuddin yang mengarah kantor Balai Kota Makassar, sejumlah kendaraan roda empat terendam banjir. foto: Istimewa

Kabupaten Palopo dan Kabupaten Toraja Utara masing-masing mencatatkan 29 kejadian, diikuti oleh Kabupaten Luwu Utara dengan 26 kejadian. Kabupaten Pinrang mencatat 24 kejadian, sementara Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Enrekang masing-masing menghasilkan 22 kejadian.

Kabupaten Takalar mengalami 20 kejadian, diikuti oleh Kabupaten Bone dengan 18 kejadian. Selanjutnya, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten Maros mencatat kejadian dengan jumlah masing-masing 16, 14, dan 14.

Meskipun jumlah bencana di Kabupaten Maros berada di bawah rata-rata kabupaten lain, dampak bencana pada Desember 2024 sangat besar, terutama akibat banjir, tanah longsor,  dan angin kencang yang terjadi bersamaan, menimbulkan kerugian besar secara ekonomi dan kemanusiaan.

Kabupaten dengan kejadian paling sedikit adalah Soppeng dengan 2 kejadian. Sementara Kabupaten Kepulauan Selayar, Kabupaten Barru, dan Kabupaten Bantaeng masing-masing mencatat 4 kejadian. Kabupaten lain seperti Wajo, Gowa, dan Parepare juga mencatat jumlah kejadian yang relatif rendah, masing-masing 6, 6, dan 7 kejadian.

Menurut Fadli, kondisi rentan Kota Makassar dipengaruhi oleh tiga daerah aliran sungai (DAS) yang kritis karena tutupan hutannya di bawah 30 persen. Tiga DAS tersebut yakni Tallo, Maros, dan Jeneberang.

“Secara ekologi, inilah yang memengaruhi terjadinya krisis air di utara Kota Makassar, khususnya di Kecamatan Tallo. Selain itu, kami juga menemukan telah terjadi ketimpangan atas akses air bersih karena ternyata air lebih banyak dialirkan ke wilayah barat Kota Makassar ketimbang ke utara Kota Makassar,” ujarnya

Analisis spasial yang dilakukan Walhi Sulsel, di bagian utara Sulsel, tepatnya di Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur, menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, terjadi penurunan kehilangan tutupan hutan, dari 8.943,90 hektare pada 2019 menjadi 4.373,38 hektare per tahun pada 2021.

“Namun, eksploitasi hutan di Pegunungan Tokalekaju terus meningkat, mencapai 10.194,89 hektare kehilangan hutan per tahun pada tahun 2023,” katanya.

Dari 362 kali bencana yang terjadi di Sulawesi Selatan sepanjang tahun 2024, bencana banjir paling banyak terjadi, yakni sebanyak 150 kali atau 41 persen dari total bencana ekologis yang ada. Kemudian urutan kedua terbanyak adalah bencana tanah longsor sebanyak 121 kali kejadian atau 33 persen.

Lalu kekeringan terjadi sebanyak 27 kali atau 7 persen. Puting beliung terjadi sebanyak 20 kali atau 6 persen. Banjir disertai longsor terjadi sebanyak 17 kali atau 5 persen dan pasang/abrasi sebanyak 11 kali atau 3 persen. Sedangkan untuk kategori tanah bergerak, banjir bandang dan kebakaran hutan rata-rata terjadi di bawah angka 10 dan masing-masing memiliki persentase 1-2 persen dari total kejadian.

Penulis lainnya, Zulfaningsih HS, mengungkapkan ekspansi izin usaha pertambangan (IUP) di rimba terakhir Sulsel, tepatnya di sekitar kompleks Danau Malili, utamanya Danau Towuti, semakin meningkat tiap tahunnya. Keberadaan tambang nikel di Kabupaten Luwu Timur akan membawa dampak lingkungan yang sangat besar.

“Deforestasi di kawasan hutan hujan di sekitar Danau Towuti tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mempercepat laju sedimentasi di danau, yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekosistemnya,” katanya.

Peningkatan sedimentasi ini, lanjut Ifa, dapat mengganggu habitat ikan endemik, yang sudah rentan karena penyebarannya yang sangat terbatas. Selain itu, limbah tambang yang tidak terkelola dengan baik berpotensi mencemari air danau, meracuni organisme yang hidup di dalamnya, dan merusak sumber air bagi masyarakat setempat.

Tidak hanya kerusakan di wilayah ekosistem vital di Sulsel, Ifa menyebut sepanjang 2024 terdapat banyak konflik sumber daya alam di Sulsel. Beberapa di antaranya yakni petani Loeha Raya dengan PT Vale Indonesia di Kabupaten Luwu Timur, petani Polongbangkeng dengan PTPN XIV dI Takalar, masyarakat dengan PT Lonsum Bulukumba, masyarakat adat Seko dengan Bank Tanah di Luwu Utara, dan konflik petani di Kabupaten Luwu dengan PT Masmindo.

Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin berharap kepada Gubernur Sulsel terpilih untuk mengutamakan dan memperhatikan kondisi lingkungan hidup dan wilayah kelola rakyat dalam semua perencanaan investasi dan pembangunan infrastruktur yang ada di Sulsel.

Walhi Sulsel, juga meminta Gubernur Sulsel terpilih mengevaluasi dan atau mencabut IUP yang berada di wilayah vital atau ekosistem penting di Sulsel, Gubernur terpilih juga diharapkan merevisi dan atau meninjau ulang RTRW Terintegrasi Sulawesi Selatan No. 3 Tahun 2022, khususnya yang menyangkut soal alokasi lahan reklamasi, tambang pasir laut, dan wilayah rentan bencana yang ditetapkan sebagai kawasan pertambangan.

“Gubernur terpilih agar mengimplementasikan model mitigasi bencana yang melampaui batas wilayah administratif dan berbasis bentang alam. Memulihkan, melindungi, dan memelihara wilayah resapan air, daerah aliran sungai, dan ekosistem esensial yang ada di Sulawesi Selatan,” kata Al Amin.

Tak hanya itu, sambung Al Amin, Walhi Sulsel juga meminta Gubernur Sulsel mengembangkan model ekonomi yang berbasis pengetahuan lokal dan perlindungan ekologi, menegakkan praktik hukum perlindungan lingkungan hidup terkhusus yang menyangkut pada tiga bentang alam (pesisir, hutan, dan karst) penting di Sulawesi Selatan.

“Meningkatkan kapasitas petani, perempuan, dan nelayan terkait dengan adaptasi perubahan iklim. Menegakkan dan atau mengaplikasikan pengarus-utamaan gender dalam konteks pembangunan di Sulawesi Selatan,” ucap Al Amin.