LIPUTAN KHUSUS:

20 Juta Hektare Hutan Dibuka, Krisis Iklim kian Parah


Penulis : Kennial Laia

Pemerhati lingkungan memperingatkan pemerintah bahaya krisis iklim jika menyulap hutan seluas 20 juta hektare untuk proyek pangan dan energi.

Hutan

Rabu, 08 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Rencana pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka membuka 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air dinilai sebagai alarm bahaya bagi komitmen iklim dan biodiversitas Indonesia. 

Rencana tersebut diungkap oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai rapat terbatas di Istana Negara, Desember lalu. Hal ini dikritisi sejumlah organisasi pemerhati hutan dan lingkungan, yang menilai alih fungsi hutan bakal kian merusak lingkungan hidup, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati, dan merugikan masyarakat–khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini hidup bergantung dari alam sekaligus menjaganya. 

“Gagasan kedaulatan pangan dan energi seperti yang diinginkan Prabowo tak akan tercapai dan menjadi omon-omon saja jika dilakukan dengan alih fungsi lahan yang justru akan memperparah krisis iklim, sebab krisis iklim akan memicu krisis multidimensi,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik, Selasa, 7 Januari 2025. 

“Pembukaan 20 juta hektare hutan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk juga memicu kebakaran dan kabut asap jika alih fungsi lahan ini dilakukan di lahan gambut. Ujungnya adalah kegagalan pemerintah memenuhi komitmen untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keanekaragaman hayati,” ujarnya. 

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Rencana tersebut tidak sejalan dengan komitmen Indonesia di dunia internasional. Salah satunya Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati, di mana pemerintah berjanji menyetop kepunahan yang disebabkan manusia pada 2030, mengurangi risiko kepunahan, dan mempertahankan keanekaragaman genetik. 

Indonesia juga memiliki target iklim, yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) di bawah Perjanjian Iklim Paris. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada 2030 dengan kemampuan sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional. Komitmen ini bertumpu dari sektor forest and land use (FoLU), salah satunya dengan pengurangan deforestasi.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji mengatakan, Raja Juli Antoni tidak transparan membeberkan data lahan 20 juta hektare yang diklaimnya telah diidentifikasi untuk pangan, energi, dan air. Berdasarkan analisis kami, kebutuhan lahan seluas itu jelas berpotensi memicu deforestasi di hutan alam Indonesia. Pemerintah seharusnya menyetop deforestasi secara total karena kita tak punya pilihan lagi kalau memang ingin selamat dari bencana iklim,” kata Sekar. 

Menurut Sekar, pemerintahan sebelumnya, di bawah Presiden Joko Widodo, mengalokasikan kuota deforestasi 2021-2030 sebesar 10,43 juta hektare–seperti tertuang dalam dokumen Rencana Operasional Folu Net Sink 2030. Deforestasi besar-besaran ini, setara dengan hampir seperempat luas Pulau Sumatera, bisa melepas 10,1 juta gigaton CO2.

Sekar menilai tren serupa terjadi di pemerintahan Presiden Prabowo. Sebelumnya Prabowo mengatakan Indonesia perlu memperluas lahan sawit dan tak perlu khawatir deforestasi. 

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengatakan pernyataan Prabowo tersebut membahayakan. “Karena akan ditafsirkan perangkat negara sebagai arahan untuk terus ekspansi lahan, membuka hutan alam yang pasti merusak,” kata Andi. 

Sebelumnya pada 2024 Satya Bumi merilis studi yang menemukan bahwa batas daya tampung lingkungan terhadap sawit di Indonesia berada di angka 18,15 juta hektare. Laporan tersebut mengungkap bahwa ekspansi industri sawit yang melewati batas tersebut dapat menyebabkan potensi kerugian jangka panjang dari segi ekonomi dan ekologi. 

“Pernyataan Prabowo bertolak belakang dengan berbagai komitmen iklim, maupun langkah-langkah pengendalian deforestasi yang sudah dilakukan Indonesia,” kata Andi. 

“Selain itu, oversimplifikasi Prabowo terkait deforestasi sangat problematik. Sebagai seorang kepala negara, nyatanya ia tak punya pemahaman yang memadai mengenai deforestasi. Definisi deforestasi tak hanya menyoal hutan gundul, tapi juga mengubah lanskap hutan lindung yang sangat  beragam dengan keanekaragaman hayati, sehingga dapat menangkap karbon dengan jumlah yang sangat besar,” kata Andi. 

Hutan hujan tropis dapat menangkap 7,6 juta karbon per tahun atau setara dengan 15% emisi tahunan dari manusia. Andi mengatakan, jika fungsi ini berubah menjadi perkebunan monokultur seperti sawit, akan menurunkan kemampuan menangkap karbon serta menyedot unsur hara yang sulit direboisasi menjadi hutan alam.