LIPUTAN KHUSUS:

Walhi Babel Soal Korupsi Timah: Lingkungan Rusak, Hukuman Ringan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

202 dari 433 DAS di Babel sudah ditambang industri timah.

Lingkungan

Selasa, 07 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tekanan aktivitas industri ekstraktif  telah menyebabkan krisis multidimensi, di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), mulai dari kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, hingga krisis ruang hidup. Hal tersebut tak sebanding dengan vonis ringan yang diberikan hakim terhadap terdakwa kasus korupsi timah. Demikian menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Babel.

Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Babel, Ahmad Subhan Hafiz, menjelaskan buruknya tata kelola pertambangan timah telah menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan lingkungan hidup yang baik dan sehat di Kepulauan Babel. Tercatat provinsi tersebut telah kehilangan tutupan hutan, aktivitas pertambangan di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, telah menyebabkan peningkatan lahan kritis seluas 167.065 hektare pada 2022.

“Selain itu dari 433 DAS (daerah aliran sungai) di Kepulauan Bangka Belitung, aktivitas pertambangan timah setidaknya dilakukan di 202 DAS, di mana yang terluas terdapat di Linggang, Kabupaten Belitung Timur, seluas 13.140 hektare (data DIKPLHD 2021),” kata Hafiz, Sabtu (4/1/2025).

Kerusakan lanskap daratan Kepulauan Babel, kata Hafiz, mendorong terjadinya sejumlah bencana alam, mulai dari kekeringan, longsor, hingga banjir. Di antara itu, yang tidak terlupakan tentunya kejadian pada 2015, yang mana Pulau Bangka mengalami kemarau panjang hingga lima bulan (Juni-Oktober).

Tambang timah ilegal di kawasan hutan produksi Sungai Liat Mapur, Bangka. Foto: Istimewa

Setahun kemudian, lanjut Hafiz, banjir besar menerpa Babel. Hampir seluruh wilayah di Babel terdampak, akses jalan lingas kabupaten terputus, air merendam ratusan bahkan rumah masyarakat.

Hafiz melanjutkan, hingga saat ini peristiwa bencana ekologi itu terus menghantui Kepulauan Babel. Hal ini didukung juga oleh analisis badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) di 2020, terkait potensi bahaya yang terjadi di Provinsi Kepulauan Babel. Dari 11 ancaman, bencana tanah longsor, banjir serta kekeringan, masuk dalam kategori tinggi. Pada 2023, BPBD mencatat ada 1.084 bencana terjadi di Babel.

“Semuanya diperparah dengan krisis iklim yang semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat global. Khusus di Bangka Belitung, proses eksploitasi di daratan terutama pertambangan timah telah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan bencana serta laju degradasi lingkungan dalam angka yang mengkhawatirkan” kata Hafiz.

Tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, sambung Hafiz, aktivitas penambangan timah juga terus memakan korban. Walhi Kepulauan Babel mencatat sepanjang 2021-2024, ada 32 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, dan 23 orang mengalami luka-luka.

Selain itu, ribuan lubang tambang yang belum di reklamasi terus memakan korban. Sepanjang 2021- 2024, tercatat ada 30 kasus tenggelam di kolong. Dari 22 korban yang meninggal dunia, 17 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.

“Kerusakan lingkungan pada kantung-kantung habitat buaya muara akibat tambang juga mempertajam konflik antara buaya dan manusia. Selama tiga tahun terakhir ada total 36 serangan buaya. Hal ini menyebabkan 19 orang meninggal dunia dan 17 orang luka-luka,” ujar Hafiz.

Bisnis penuh muslihat

Menurut Hafiz, korupsi tata niaga pertambangan timah yang melibatkan 22 orang terdakwa, yakni eks Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Timah, eks kepala dinas, smelter serta pengusaha lainnya, menambah catatan buruk tata kelola pemerintahan dan tata kelola sumber daya alam di Indonesia, khususnya di Kepulauan Babel.

“Putusan hakim telah membuktikan para terdakwa bahu membahu melakukan bisnis kotor di dalam industri pertimahan. Tidak hanya merugikan negara, tapi juga menyebabkan masifnya kerusakan lingkungan yang berimplikasi pada bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung,” kata Hafiz.

Meski demikian, imbuh Hafiz, Walhi Kepulauan Bebel menilai putusan hakim PN Jakpus terhadap terdakwa korupsi yang telah merugikan negara Rp300 triliun itu terlalu rendah. Jika mengacu pada Perma 1/2020, nomenklatur hukum negara justru telah melakukan kategorisasi mengenai hukuman seperti apa yang patut diterima oleh terdakwa kasus korupsi.

Sehingga, lanjut Hafiz, putusan hakim yang lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kasus korupsi dinilai tidak adil. Putusan tersebut telah menjelaskan bahwa semua terdakwa terlibat dan memiliki peran masing-masing merugikan keuangan negara maupun sebagai pihak yang berkontribusi besar dalam menciptakan bencana ekologis di Kepulauan Bangka Belitung.

“Publik mempertanyakan, apa sebenarnya yang menjadi landasan pertimbangan hakim sehingga putusannya demikian? padahal secara materiil negara jelas dirugikan. Baik sumber daya alamnya seperti Timah, maupun beban pemulihan Lingkungan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial,” kata Hafiz.

“Dalam hal ini Walhi Kepulauan Bangka Belitung menilai bahwa kerugian negara akibat rusaknya ekosistem esensial bukan lagi potential loss, melainkan actual loss karena kerusakannya telah meluas dan pemulihannya dibebankan kepada negara,” imbuhnya.

Tanggung jawab pemulihan

Hafiz berpendapat, putusan hakim juga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana harapan publik mengenai perintah pemulihan lingkungan di Kepulauan Babel, sebagai daerah yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi tersebut. Padahal kerugian terbesar dalam kasus tersebut adalah ekologi, sehingga penting untuk hakim memerintahkan tanggung jawab pemulihan lingkungan.

“Hal tersebut juga fundamental bagi penanganan kasus korupsi tata niaga pertambangan yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Serta menjadi yurisprudensi atau landasan putusan hakim ke depannya terhadap kasus serupa,” ujar Hafiz.

Hafiz menambahkan, output pasal 18b UU Tipikor yang menyertai kasus tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai skema apa yang akan dilakukan oleh negara dalam memulihkan kerusakan lingkungan. Pemulihan lanskap adat, ekosistem esensial, dan wilayah kelola rakyat wajib menjadi lokasi prioritas dalam agenda restorasi lingkungan di Kepulauan Babel.

“Skema tanggung jawab pemulihan ekologi di Bangka Belitung harus segera dipastikan. Sehingga agenda negara merampas harta kekayaan terdakwa tidak hanya untuk menimbulkan efek jera, tapi guna menanggulangi kerusakan lingkungan yang menjadi potret besar kerugian akibat praktik koruptif di sektor pertambangan timah,” ucap Hafiz.