LIPUTAN KHUSUS:
Negosiasi Lambat, Proyek Energi Terbarukan Terhambat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Pengadaan proyek energi terbarukan terhitung lambat, jika menilik target penambahan energi terbarukan PLN 2021-2030.
Energi
Senin, 06 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menemukan, sebagian besar proyek energi terbarukan belum mencapai tahap kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA), meski dilelang sejak dua tahun lalu. Pengadaan proyek energi terbarukan ini terhitung lambat, jika menilik target penambahan energi terbarukan 21 gigawatt (GW) dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030, apalagi ambisi 75 GW pada 2040 yang diumumkan dalam COP 29.
Analis Keuangan IEEFA, Mutya Yustika, mengatakan, proses pengadaan energi terbarukan PLN berjalan lambat dari yang diperkirakan, meski telah menargetkan peningkatan kapasitas secara signifikan. Dari target 21 GW dalam RUPTL, PLN seharusnya menambah kapasitas energi terbarukan rata-rata 2,1 GW per tahun. Namun, realisasinya pembangkit listrik energi terbarukan hanya naik 0,6 GW per tahun.
“Meski PLN menargetkan ekspansi kapasitas energi terbarukan yang signifikan, proses pengadaannya justru berjalan lambat. Kebanyakan proyek energi terbarukan saat ini masih dalam tahap lelang dan negosiasi,” kata Mutya, dalam sebuah rilis, 16 Desember 2024.
Dalam program penggantian 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan energi terbarukan yang diumumkan pada 2022 misalnya, meski lelang tahap I telah dilakukan dan Letter of Intent (LoI) sudah ditekan pada Desember 2023, tapi belum ada kontrak yang ditandatangani. Selain itu, Proyek Hijaunesia pada 2023 yang membidik pembangunan PLTS skala besar 1 GW juga masih pada tahap perencanaan dan pemilihan mitra, meski sudah berjalan hampir dua tahun.
Oleh sebab itu, IEEFA menilai restrukturisasi komprehensif proses pengadaan perlu dilakukan untuk mencapai tambahan kapasitas energi terbarukan yang cukup besar setiap tahun untuk merealisasikan visi Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah perlu menetapkan prioritas pengadaan proyek yang ada dalam rencana, didukung dengan prinsip pengadaan dan kontrak yang rasional, dan diperkuat pembiayaan untuk pembangunan energi terbarukan 3-5 GW per tahun. Untuk mewujudkannya, perlu ada pendekatan komprehensif lintas kementerian/lembaga di pemerintahan.
Daftar penawaran energi terbarukan 2022-2024. Sumber: IEEFA
Menurut Grant Hauber, Strategic Energy Finance Advisor Asia IEEFA, institusi seperti PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), dan Indonesia Investment Authority (INA) dapat bekerja sama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PLN untuk membuat sumber daya dan proses yang dibutuhkan. Untuk mendukung keberhasilan pengadaan energi bersih, Grant berpendapat, harus dilakukan identifikasi dan prioritas portofolio proyek, terutama proyek yang memiliki lahan dan sumber daya yang memadai untuk dapat segera diimplementasikan.
“Aspek-aspek persiapan proyek harus dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi, didukung proses pengadaan yang transparan dengan konsep kontrak yang saling menguntungkan. Pendekatan ini perlu direplikasi secara konsisten dan terus menerus, diterapkan di berbagai proyek, secara konsisten pada masa sekarang atau pun masa mendatang,” kata Grant.
Tutup empat PLTU
Pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan skala besar secara cepat ini dibutuhkan agar Indonesia dapat menyetop operasi seluruh PLTU seperti yang dinyatakan Presiden Prabowo dalam KTT G20 di Brasil. Isu penting lainnya adalah menemukan pendekatan terbaik untuk memensiunkan seluruh PLTU pada 2040. Langkah awalnya yakni mengidentifikasi PLTU mana yang perlu diprioritaskan untuk dimatikan, apakah yang dimiliki secara pribadi oleh produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP) yang dimiliki secara publik oleh PLN, serta performa dari PLTU tersebut.
Menurut Mutya, penghentian operasi PLTU milik IPP membutuhkan negosiasi yang ekstensif. Oleh sebab itu, pemerintah lebih baik memprioritaskan pensiun dini PLTU milik PLN lantaran hanya akan membutuhkan penilaian internal oleh PLN dan pemerintah untuk menerbitkan kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan terkait penghapusan aset yang ditutup. Apalagi, dari total kapasitas PLTU 50 GW, sebanyak 22 GW dimiliki oleh PLN, dan 23% di antaranya telah beroperasi lebih dari 25 tahun.
PLTU batu bara di Indonesia yang beroperasi selama lebih dari 25 tahun. Sumber: Global Energy Monitor (GEM), PLN via IEEFA.
“Karena terjadi kelebihan pasokan, PLTU yang dimiliki PLN juga tidak dioperasikan penuh. Dalam kondisi normal, capacity factor PLTU seharusnya sekitar 80%. Namun, pada 2023, PLTU PLN di Sistem Kelistrikan Jawa-Bali hanya beroperasi dengan capacity factor 59% dan di Sumatera hanya 53%,” ujar Mutya.
Empat PLTU dengan total 4,6 GW masuk dalam kriteria tersebut, yakni PLTU Suralaya Unit 1-7 berkapasitas 3,4 GW, Bukit Asam Unit 1-4 260 MW, Paiton Unit 1-2 800 MW, dan Ombilin Unit 1-2 200 MW. Dari keempat PLTU tersebut, PLTU Suralaya Unit-1 telah beroperasi sejak 1985, dan yang paling muda, PLTU Suralaya Unit-7 sejak 1997.
“Pernyataan Pemerintah Indonesia di G20 dan COP29 menjadi langkah signifikan untuk mengatasi krisis iklim dan bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam peraturan perundangan dan regulasi agar PLN dapat merencanakan langkah berikutnya dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dibandingkan energi fosil,” ucap Mutya.
Sebelumnya, pada pertemuan puncak G20 di Brasil pada November 2024, Presiden Prabowo Subianto membuat pengumuman penting mengenai komitmen Indonesia terhadap energi hijau dan aksi iklim. Ia menguraikan visi ambisius untuk menghentikan semua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan fosil dalam 15 tahun ke depan dan berjanji untuk mengembangkan lebih dari 75 GW kapasitas energi terbarukan.
Rencana 75 GW mengacu pada inisiatif Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (ARED) oleh perusahaan listrik nasional, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang bertujuan untuk memanfaatkan potensi Indonesia yang kaya akan sumber daya panas bumi, tenaga surya, angin, dan tenaga air.
Presiden Prabowo menyatakan optimismenya bahwa Indonesia akan mencapai emisi nol bersih (zero emission/NZE) pada tahun 2050, satu dekade lebih awal dari target pemerintah sebelumnya. Ia menggarisbawahi pentingnya kerja sama internasional dan investasi swasta untuk mendukung transisi energi Indonesia, karena pendanaan pemerintah saja tidak akan cukup.
Pada hari yang sama, Ketua Delegasi COP29 Indonesia, Hashim S. Djojohadikusumo, menyebutkan pentingnya transisi menuju energi yang lebih bersih dan hijau untuk mengatasi perubahan iklim. Ia juga menyatakan bahwa visi besar Indonesia adalah mengurangi emisi gas rumah kaca hingga nol pada 2060 atau lebih cepat dan menghindari emisi karbon dioksida sebesar 1 miliar ton.
Djojohadikusumo menambahkan bahwa energi bersih yang terjangkau akan mempercepat pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, memastikan ketahanan pangan, dan memberantas kemiskinan sambil menyeimbangkan pertumbuhan industri, lingkungan, dan pertimbangan keberlanjutan.