LIPUTAN KHUSUS:

TPA Sampah Kota Depok Dilaporkan ke Komnas HAM


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Aktivitas TPA sampah liar di Limo, Kota Depok, selama lebih dari 15 tahun, dianggap telah menimbulkan pelanggaran HAM.

Polusi

Jumat, 03 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Warga korban tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah liar di wilayah Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat (Jabar) mengadu ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), pada Kamis (2/1/2025). Sebab, aktivitas pembuangan sampah tanpa izin tersebut, telah menimbulkan pelanggaran HAM.

“Melalui aduan ini, kami berharap Komnas HAM dapat membantu kami dalam menegakkan HAM atas lingkungan yang baik dan sehat. Serta memfasilitasi agar Pemerintah Kota Depok, dan pemerintah nasional dapat menjalankan kewajibannya, sehingga hak warga masyarakat terpenuhi,” kata Dodi Ariawanto, Ketua Forum Warga Terdampak, dalam sebuah rilis yang dipublikasikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Kamis (2/1/2025).

Lebih lanjut, Dodi mengatakan, warga meminta PT Megapolitan sebagai pemilik lahan tidak terus menerus ikut serta melanggar atau melakukan pembiaran kejahatan lingkungan berlanjut, dan segera melakukan kewajiban. Dodi meminta perusahaan itu menutup seluruh lahannya dari aktivitas pembuangan atau pengolahan sampah, serta merehabilitasi lahannya kembali sesuai peruntukannya.

Berdasarkan penjelasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang mendampingi warga mengadu ke Komnas HAM, TPA liar tersebut terletak di sepanjang aliran Sungai Pesanggrahan seluas hampir 3.7 hektare, di atas lahan milik PT Megapolitan Development, dan telah beroperasi setidaknya sejak 2009.

Kementerian Lingkungan Hidup menyegel lokasi TPA liar di Kecamatan Limo, Kota Depok. Foto: Gakkum LHK.

TPA ini juga terletak kurang lebih 300 meter dari Kantor Samsat Cinere Kota Depok, 160 meter dari Kampus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), dan kurang dari 50 meter dari beberapa kompleks perumahan di sekitar seperti Perumahan Griya Cinere 2, Taman Dika, Panorama Cinere, Bukit Cinere dan lainnya.

Terdapat dugaan pelanggaran hak atas lingkungan, hak atas kesehatan dan berbagai hak dasar lain yang dilakukan oleh negara karena melakukan pembiaran. Aktivitas pembuangan sampah tidak terkontrol (open dumping), pembakaran (open burning) dilakukan di lahan terbuka secara masif tanpa izin resmi dan melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan akibat bau, pencemaran sungai dan asap dari pembakaran sampah.

Kegiatan tersebut setidaknya menimbulkan dampak kesehatan dan gangguan secara luas pada ribuan warga di Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan, meliputi 3 kecamatan antara lain meliputi RT 05/RW 05, RT 01/RW 04 (Kec. Limo, Kota Depok), RW 14, RW, 15, RW 16, RT 03/RW 12 (Kec. Cinere, Kota Depok), RW 07, RW 13, RT 07/RW 02 (Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan) dan beberapa wilayah lainnya.

Operasi TPA tersebut menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan warga sekitar. Sejak 2009 berulang kali warga telah melakukan protes atas kegiatan ilegal ini, dan sejak beroperasi, TPA ini sudah mengalami 8 kali buka-tutup, terakhir pada 4 November 2024. Pada tanggal itu Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurrofiq, melakukan kunjungan lapangan, penyegelan, dan penghentian kegiatan TPA.

Namun demikian belum ada tindakan berarti yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah bau dan potensi penyebaran penyakit yang timbul akibat tumpukan sampah. Meski Menteri Lingkungan Hidup sudah melakukan penyegelan TPA, tapi sampai saat ini TPA tersebut masih terus beroperasi.

Menurut Walhi, keberadaan TPA liar ini telah melanggar hak warga negara untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 Pasal 9 (3), dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65 ayat (1).

Dalam pengaduan ini, warga korban meminta Komnas HAM untuk melakukan pemantauan kasus dugaan pelanggaran HAM dari operasi TPA liar ini. Warga juga meminta Komnas HAM menyusun rekomendasi kepada Pemerintah Kota (Pemko) Depok, PT Megapolitan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Ditjen Bangda-Kementerian Dalam Negeri, serta kementerian dan lembaga terkait untuk menutup, mensterilkan area dan melakukan pemulihan lingkungan.

Kemudian, warga meminta pula Komnas HAM memfasilitasi mediasi antara warga terdampak, Pemko Depok, PT Megapolitan, KLH, Ditjen Bangda, untuk membuat rencana aksi yang akuntabel dan transparan terkait penanganan dan rehabilitasi lokasi TPA liar pasca-penyegelan. Terakhir warga meminta Komnas HAM mendorong perlindungan warga pejuang lingkungan dan HAM.

Dalam pertemuan di Kantor Komnas HAM, Komisioner Komnas HAM Bidang Pengaduan, Hari Kurniawan, mengatakan bahwa pelanggaran HAM dalam kasus ini terjadi akibat pembiaran. Pihaknya akan melakukan analisa kasus ini untuk melihat dugaan pelanggaran HAM yang terjadi, seperti hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak dasar lain.

“Selain itu Komnas HAM akan memanggil pihak terkait untuk dimintai keterangan dan mencari solusi atas kasus yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun ini,” kata Hari.

Juru Kampanye Polusi dan Urban, Walhi, Abdul Ghofar, yang mendampingi forum warga terdampak, menganggap operasi TPA liar di Limo, Kota Depok, telah menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan manusia. Protes warga sejak sekitar 2009 itu dilakukan karena operasi TPA dianggap semakin mengganggu.

Praktik pengangkutan, penimbunan dan pembakaran sampah ilegal ini, kata Ghofar, telah merenggut hak atas lingkungan baik dan sehat, hak atas udara bersih hingga hak atas kesehatan warga.

“Negara melalui institusinya harus memenuhi hak asasi warga melalui upaya penegakan hukum, pemulihan lingkungan dan jaminan untuk hidup di lingkungan yang baik dan sehat, yang bebas dari polusi,” ujar Ghofar.