LIPUTAN KHUSUS:
TNI - Polisi Bukan Centeng Sawit, Tapi Penjaga Negara: Kritik
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Pernyataan Prabowo bukan hanya melegitimasi TNI dan polri menjadi centeng korporasi sawit, tapi juga akan meningkatkan potensi kekerasan terhadap masyarakat.
Sawit
Jumat, 03 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pengamat hukum dan lingkungan menilai pernyataan Presiden Prabowo yang meminta para kepala daerah, pejabat, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kepolisian untuk menjaga kebun sawit, sangat membahayakan. Sebab pernyataan itu bukan hanya melegitimasi TNI dan Polri menjadi centeng korporasi sawit, tapi juga akan meningkatkan potensi kekerasan terhadap masyarakat.
Padahal tindakan represif dan kekerasan oleh aparat polisi, dalam penanganan konflik antara korporasi perkebunan sawit dan masyarakat, banyak dilaporkan terjadi di sejumlah daerah. Di Air Bangis dan Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, dan Segar Wangi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, misalnya.
Yang lebih parah, tindakan represif aparat kepolisian bahkan telah menyebabkan kematian seorang warga Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, pada 7 Oktober 2023. Dalam kejadian itu, seorang warga Bangkal bernama Gijik, tewas diterjang timah panas yang ditembakkan anggota polisi, saat ia bersama ratusan warga lainnya melakukan aksi pendudukan kebun sawit dalam rangka menagih hak kebun plasma di kebun sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada.
“(Jadi) Pernyataan ini berbahaya sekali, karena Presiden menginstruksikan secara terbuka di publik, bahwa polisi dan tentara harus menjaga sawit,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Kamis (2/1/2025).
Fakta selama ini, imbuh Uli, aparat kepolisian dan tentara juga cenderung berpihak kepada perusahaan yang berkonflik agraria dengan masyarakat. Tak jarang para aktor hukum dan keamanan ini justru melakukan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan di sektor perkebunan sawit.
“Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita menganggap instruksi ini akan melegitimasi pendekatan keamanan dalam pelaksanaan operasi produksi perusahaan sawit oleh aktor-aktor keamanan yang berpotensi akan membuat kasus-kasus intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat semakin bertambah,” ujar Uli.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan selain membahayakan pernyataan Prabowo ini melanggar prinsip dasar konstitusi, juga Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri. TNI dan Polri, kata Insur, jelas merupakan alat negara, yang bukan untuk menjaga kebun, apalagi menjadi centeng perusahaan.
“Prabowo sangat salah memosisikan tentara sebagai penjaga kebun sawit. Itu sangat melecehkan tentara. Karena tentara dididik untuk melawan musuh, menjaga setiap jengkal kedaulatan. Ini justru disuruh menjaga kebun sawit, dari konflik dengan masyarakat. Berbahaya sekali,” kata Isnur.
Menempatkan anggota kepolisian sebagai penjaga kebun sawit, lanjut Isnur, juga sangat salah. Sesuai undang-undangnya, tugas polisi adalah melindungi, mengayomi masyarakat, dan menegakkan hukum. Artinya, yang seharusnya dilakukan polisi adalah mengungkap pelanggaran dan kejahatan di sektor kehutanan. Sebab banyak pembalakan dan pembakaran hutan terjadi untuk dijadikan kebun sawit.
“Harusnya kepolisian menangkap para penjahat penjarah hutan bermotif korporasi. Sesuai dengan Undang-Undang P3H. Jadi harusnya Prabowo memahami konstitusi, memahami undang-undang dengan benar. Ini berbahaya, Prabowo jelas melanggar konstitusi, jelas melanggar undang-undang, baik Undang-Undang Polri, TNI dan lingkungan hidup,” ujarnya.
Prabowo, masih kata Isnur, juga harus mengetahui bahwa perkebunan sawit skala besar benar-benar merusak hutan, merusak alam, dan terutama merampas lahan masyarakat. Sebab, lahan-lahan termasuk hutan yang dijadikan perkebunan sawit di Indonesia bukanlah lahan kosong yang tidak ada masyarakatnya.
Pernyataan Prabowo yang menempatkan sawit sebagai aset negara, juga dianggap Isnur sebagai hal yang ironis. Sebab sebagian besar keuntungan perkebunan sawit skala besar justru diperoleh oleh oligarki, bukan negara.
“Justru selama ini dipegang oleh oligarki, dan datanya tidak terbuka. Entah berapa besar HGU yang dipegang perusahaan besar, yang kita tidak pernah tahu, karena datanya selalu ditutup. Konflik perkebunan sawit sangat banyak, sangat luar biasa besar, di mana-mana,” kata Isnur.
Sebelumnya, saat memberikan pengarahan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029, Senin (30/12/2024), Presiden Prabowo menyebutkan perkebunan sawit merupakan aset negara sehingga harus dijaga, baik oleh kepala daerah maupun aparat polisi dan TNI.
“Jagalah, ya para bupati, gubernur, para pejabat, tentara, polisi, jagalah kebun kelapa sawit kita, di mana-mana itu aset-aset negara, dan saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit. Enggak usah takut membahayakan deforestation,” kata Prabowo.