LIPUTAN KHUSUS:
Kebun Rasa Kolonial: Catatan Akhir Tahun 2024 Buruh Sawit
Penulis : Aryo Bhawono
Catatan berbagai lembaga organisasi buruh perkebunan sawit menunjukkan nasib buruh sawit masih seperti buruh perkebunan pada masa kolonial.
Sawit
Senin, 30 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Nasib buruh sawit masih terpuruk di 2024. Catatan berbagai lembaga organisasi buruh perkebunan sawit menunjukkan nasib buruh sawit sama dengan buruh perkebunan di masa kolonial.
Koordinator Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network/ TPOLS), Rizal Assalam, menyebutkan terdapat enam ciri khas industri perkebunan sawit yang menyengsarakan para buruh. Enam ciri tersebut diantaranya adalah kondisi kerja yang buruk terkait upah rendah, eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan, cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang dimanipulasi, ekspansi perkebunan sawit, pertanian kontrak/ plasma, dan konflik tanah, penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan, dan ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat.
“Ini menunjukkan hubungan kerja gaya kolonialisme masih ditemui di perkebunan sawit saat ini. Walaupun industri ini sudah ratusan tahun lamanya, kondisi buruh perkebunan sawit masih jauh dari ideal,” ucap Rizal dalam jumpa pers Catatan Akhir Tahun Buruh Sawit di Jakarta pada Jumat (27/12/2024).
Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Damar Panca, menyebutkan nasib buruk buruh sawit ini tak lepas dari kondisi regulasi nasional yang buruk.
“UU Cipta Kerja telah memperkokoh praktek eksploitatif di perkebunan dengan memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual/ musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” ujarnya.
Menurutnya kesejahteraan buruh sawit ini berbanding terbalik dengan kekayaan para pengusaha sawit. Ketimpangan ini pun menunjukkan bahwa regulasi tidak berpihak pada buruh dan memperkaya para pengusaha. Misalnya saja kontrak yang tak jelas terhadap buruh lepas.
Ironisnya sektor sawit tercatat sebagai penyumbang devisa negara yang besar. Data Kementerian Perdagangan, sampai dengan September 2024, kinerja ekspor nonmigas sebesar 181,14 miliar dolar AS. Ekspor lemak dan minyak nabati mencapai 14,43 miliar dolar AS, termasuk didalamnya minyak dari kelapa sawit.
Sementara regulasi tingkat global seperti Regulasi Uni Eropa tentang Anti Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/ EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (Corporate Sustainability Due Diligence Directive/ CSDDD) yang diterapkan beberapa tahun ke depan memunculkan pertanyaan terkait dampaknya dan mekanisme perlindungan buruh. Pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember lalu menegaskan bahwa regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa diakses oleh serikat buruh.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, menyebutkan penyerahan aspek perlindungan buruh pada peraturan nasional tidak akan efektif di situasi ketika peraturan nasionalnya tidak berpihak pada buruh.
“Kondisi saat ini tentu membayangi masa depan para buruh. Apalagi dengan kebijakan pemerintah meningkatkan campuran sawit dalam bahan bakar, B50, nampaknya justru berdampak buruk pada buruh. Yang kebagian keuntungan adalah pengusaha dan buruh sawit tetap dalam kondisi seperti saat ini saja,” kata dia.
Peneliti Sawit Watch, Hotler Parsaoran, menekankan UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan kurang representatif untuk melindungi buruh perkebunan sawit. Menurutnya, lanskap dan kondisi kerja di perkebunan sawit cenderung berbeda dibandingkan industri sektor manufaktur.
“Hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan”
Sebelumnya, telah ada upaya mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit. Namun menurutnya, pemerintah lebih banyak memberi dukungan masif terhadap industri ini melalui kebijakan revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel hingga melobi negara-negara konsumen. Dukungan tersebut tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan penting terkait perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit.
RUU Buruh Sawit perlu masuk dalam prolegnas prioritas. Perlu transisi yang adil dalam industri sawit, yang menyasar corak produksi eksploitatifnya. Deklarasi Sambas yang dikeluarkan oleh jaringan TPOLS dibuat sebagai acuan tuntutan-tuntutan yang relevan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi di perkebunan sawit.