LIPUTAN KHUSUS:
Satu Insiden jadi Beberapa Tindakan Kekerasan: Komnas HAM Papua
Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA
Sepanjang 1 Januari – 9 Desember 2024, tercatat 85 kasus kekerasan yang terjadi di Tanah Papua.
HAM
Rabu, 11 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Papua mencatat nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan belum sepenuhnya dirasakan di Papua. Isu kebebasan, terutama kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum, menurut lembaga ini, masih menjadi soal. "Negara kerap kali membungkam ruang kebebasan bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya. Isu kesetaraan dan keadilan pun dirasa belum maksimal," ujar Frits Bernard Ramandey, Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, di Kota Jayapura, Papua, Selasa, 10 Desember 2024.
Menurut catatan Komnas HAM RI Perwakilan Papua, situasi kekerasan di tanah Papua masih berulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Kekerasan di tanah Papua masih terus berlanjut. Sepanjang 1 Januari – 9 Desember 2024, tercatat 85 kasus kekerasan yang terjadi di Tanah Papua.
"Dari 85 kasus kekerasan, didominasi berupa kontak senjata dan penembakan sebanyak 55 kasus, diikuti 14 kasus penganiayaan, 10 kasus perusakan, dan 6 kasus kerusuhan. Satu insiden bisa menimbulkan lebih dari satu tindakan kekerasan," katanya di Kota Jayapura, Papua, Selasa, 10 Desember 2024, pada peringatan HAM Internasional ke-76.
Sebelumnya, sepanjang Januari hingga Desember 2023, Komnas HAM menemukan setidaknya ada 114 peristiwa pelanggaran HAM.
Jumlah kasus kekerasan tertinggi pada 2024 tercatat di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, dengan 13 kasus; Kabupaten Intan Jaya dengan 11 kasus; Kabupaten Yahukimo dan Paniai masing-masing mencatat 10 kasus; Kabupaten Puncak Jaya dengan 9 kasus; Pegunungan Bintang 7 kasus; dan Nabire 5 kasus. Sementara itu, di Kabupaten Jayawijaya, Dogiyai, Mimika, dan Keerom masing-masing tercatat 3 kasus. "Adapun Kabupaten Nduga dan Maybrat mencatat 2 kasus, serta Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Manokwari, dan Kota Jayapura masing-masing tercatat 1 kasus," kata Frits.
Akibat berbagai kasus kekerasan tersebut, menurut Kepala Komnas HAM Papua, 114 orang menjadi korban. Sebanyak 71 orang meninggal dan 43 jiwa luka-luka. Dari jumlah tersebut, 68 jiwa adalah warga sipil, dengan 40 jiwa meninggal dunia dan 28 jiwa luka-luka. Korban dari aparat keamanan mencapai 26 jiwa, di antaranya 15 meninggal dunia dan 11 luka-luka. Sementara itu, korban dari pihak TPNPB-OPM (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka) terdapat 19 jiwa, di antaranya 15 jiwa meninggal dunia dan 4 jiwa luka-luka. Selain itu, satu warga negara asing juga dilaporkan meninggal dunia.
"Dari 68 jiwa warga sipil, 2 anak dan 2 perempuan meninggal dunia, sementara 1 anak dan 23 laki-laki dewasa terluka. Di pihak TPNPB-OPM, seluruh 19 jiwa adalah laki-laki dewasa, dengan 15 jiwa meninggal dunia dan 4 jiwa terluka. Sementara itu, dari 26 jiwa aparat keamanan, 9 anggota TNI meninggal dunia dan 7 terluka, sedangkan 6 anggota Polri meninggal dunia dan 4 terluka. Kekerasan ini juga menyebabkan pengungsian serta kerusakan pada bangunan dan kendaraan," kata Frits.
Secara faktual, kata Frits B. Ramandey, setiap konflik kekerasan yang terjadi dapat dilihat sebagai respon atas peristiwa sosial ekonomi maupun kebijakan politik. Di sisi lain, ketegangan maupun konflik bersenjata di Papua membutuhkan ruang-ruang dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta masyarakat maupun TPNPB-OPM. Frits B Ramandey mengatakan tantangan utama bagi Pemerintah saat ini adalah bagaimana membangun kepercayaan rakyat Papua dengan menumbuhkan persamaan kesetaraan, penegakan hukum yang adil dan non diskriminatif sebagai upaya membangun ekosistem damai menuju dialog kemanusiaan.
Frits menyebutkan, pemberlakuan otonomi khusus dan penambahan Daerah Otonomi Baru (DOB) belum memberikan dampak berarti bagi warga negara terutama Orang Asli Papua. Misalnya akses warga negara untuk memperoleh layananan kesehatan, pendidikan, dan akses layanan sosial lainnya masih jauh dari harapan. Sementara itu, di sektor agraria, kehadiran investor termasuk pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di beberapa daerah di Papua dikhawatirkan akan terus menimbulkan konflik dengan masyarakat adat setempat. Disisi lain, konflik dan kekerasan masih terus berulang terutama di sejumlah daerah rawan konflik. "Setiap kekerasan kerap menimbulkan korban baik di pihak aparat, kelompok sipil bersenjata dan warga sipil," kata Frits.
Menurut Komnas HAM RI Perwakilan Papua, kondisi ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis guna mengakhiri atau meminimalisir konflik kekerasan yang terus berulang, melalui pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip HAM. Aparat keamanan dan kelompok sipil bersenjata, kata Komnas HAM Papua, harus menghentikan kekerasan bersenjata dan mengupayakan pendekatan penegakan hukum dan kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah.
Komnas HAM Perwakilan Papua juga meminta para gubernur dan bupati/wali kota Papua terpilih agar memberi perhatian serius penuh pada isu Hak Asasi Manusia dan melakukan kewajiban utamanya dalam upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara sesuai prinsip kebebasan, kesetaraan dan keadilan bagi semua warga termasuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk meminimalisir setiap konflik atau kekerasan yang terjadi di wilayahnya masing-masing.