LIPUTAN KHUSUS:

Ada Potensi Konflik dalam Rencana Reforestasi 12 Juta Ha: KPA 


Penulis : Kennial Laia

Banyak desa dan pemukiman masih tumpang tindih dengan kawasan hutan. Rencana reforestasi pemerintah harus matang dan tidak menimbulkan konflik agraria.

Agraria

Sabtu, 23 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Rencana pemerintah untuk melakukan reforestasi lahan seluas 12 juta hektare berpotensi menyebabkan penggusuran dan konflik agraria. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), hal ini terutama terkait dengan tanah, pemukiman masyarakat, dan desa yang tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan. 

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika mengatakan, pemerintah harus transparan dan melibatkan masyarakat dalam menjalankan kebijakan ini, termasuk dalam menentukan lokasi dan kawasan hutan yang masuk dalam program reforestasi. 

Sebelumnya Utusan Khusus Presiden untuk COP29, Hashim Djojohadikusumo mengumumkan rencana pemerintah untuk melakukan reforestasi lahan terdegradasi seluas 12 juta hektare di perhelatan KTT iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan. Kamis, 14 November 2024, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan, pihaknya akan menyiapkan peta jalan dan perencanaan strategis terkait rencana tersebut. 

“Jangan sampai lokasi-lokasi tersebut justru menyasar pemukiman, tanah garapan dan desa-desa yang selama ini diklaim secara sepihak sebagai kawasan hutan. Apalagi melihat pendekatan pemerintah yang selama yang sangat legal formal dan minus partisipasi masyarakat,” kata Dewi dalam pernyataan tertulis, Kamis, 21 November 2024. 

Upaya penyelesaian konflik agraria di Desa Batulawang, Cianjur, berpotensi gagal akibat operasi Bank Tanah. Foto: KPA.

Badan Pusat Statistik mencatat, terdapat 2.768 desa berada dalam kawasan hutan hingga 2023. Menurut Dewi, tumpang tindih ini merupakan dampak kebijakan yang masih menggunakan asas domein verklaring warisan zaman kolonialisme Belanda, yang artinya setiap wilayah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah milik negara. 

Dewi mengatakan, penerapan asas ini mengakibatkan pertentangan klaim antara penduduk desa dan pemerintah yang berujung pada konflik agraria. Periode 2015-2023, KPA mencatat setidaknya terjadi 213 letusan konflik akibat klaim kawasan hutan. Letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas 1,7 hektar dengan korban 81 ribu rumah tangga. 

“Akibatnya, pemerintah desa dan penduduk desa tidak dapat mengakses dana pembangunan dan kehilangan hak-hak dasar mereka. Tidak mengherankan desa-desa yang berada dalam klaim kawasan hutan tersebut merupakan kantong-kantong kemiskinan,” kata Dewi. 

Dewi mengatakan, sejak 2016 pihaknya telah mengusulkan 589 desa dengan luas 1,2 juta hektare sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria, yang selama ini diklaim sebagai “kawasan hutan” oleh pemerintah. “Namun sampai berakhirnya periode pemerintahan Jokowi, tidak sejengkal pun yang berhasil dikembalikan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan hak mereka,” ujarnya. 

“Seharusnya, di era pemerintahan baru ini, Kementerian Kehutanan justru bekerja mengakselerasi penyelesaian konflik agraria kehutanan dan mengurai kemandekan yang terjadi selama ini. Harus ada terobosan kebijakan,” kata Dewi.