17 Merek dan Bank Gagal Hentikan Deforestasi dan Eksploitasi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Sabtu, 18 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - 17 perusahaan merek dagang dan bank multinasional raksasa tercatat masih gagal menghentikan deforestasi dan pelanggaran Hak Asasi Mansuai (HAM) dalam praktik bisnisnya. Itu terungkap dalam laporan terbaru yang dibuat Rainforest Action Network (RAN).
Laporan RAN ini mengevaluasi kebijakan publik dan komitmen yang dikeluarkan oleh perusahaan merek dagang dan bank yang menggunakan dan mendanai komoditas berisiko terhadap hutan hujan tropis di Indonesia dalam produksi mereka. Hasil evaluasi menunjukkan, tak satupun dari 17 merek dagang dan bank multinasional yang telah mengambil tindakan yang memadai untuk mengurangi kontribusi mereka terhadap perusakan hutan, perampasan lahan dan kekerasan terhadap masyarakat adat dan lokal.
Merek dagang multinasional itu adalah Colgate-Palmolive, Ferrero, Kao, Mars, Mondelez, Nestlé, Nissin Foods, PepsiCo, Procter & Gamble, dan Unilever. Sedangkan bank multinasional yang mendukung pembiayaan merek-merek di atas yakni, ABN Amro, Bank Negara Indonesia (BNI), CIMB, DBS, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), JPMorgan Chase, and Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG).
BNI, CIMB dan bank multinasional milik China ICBC memiliki reputasi paling buruk, dengan nilai 'F' berdasarkan hasil evaluasi. Sedangkan perusahaan merek dagang raksasa seperti Procter & Gamble, produsen coklat Mondelez, dan produsen makanan Jepang Nissin Foods juga tertinggal dari yang lainnya, dalam hal mewujudkan kebijakan untuk mengakhiri deforestasi dan pelanggaran HAM dalam rantai pasok komoditas yang berisiko terhadap hutan.
“Kebijakan NDPE perusahaan-perusahaan ini tidak berlaku untuk semua pemasok, penerima investasi, dan klien yang memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan, serta tidak menyertakan semua komoditas yang berisiko terhadap hutan, yang dibeli atau didanai perusahaan dan hanya berlaku pada satu komoditas. Ini menjadi celah besar yang harus diperbaiki,” ungkap Fitri Arianti selaku Juru Kampanye Hutan RAN, dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada Kamis (16/6/2022).
Fitri menyebut, lemahnya tindakan yang dilakukan, termasuk metode penerapan kebijakan yang tidak kredibel, juga menjadi dasar penilaian perusahaan-perusahaan ini mendapatkan penilaian buruk. Pihaknya menilai perusahaan merek dagang dan bank tersebut tidak memiliki tolak ukur yang jelas dalam menerapkan kebijakan ini.
Fitri bilang, perbaikan kebijakan NDPE masing-masing perusahaan sebetulnya dapat menekan terjadinya konflik, sekaligus memperbaiki penyelesaian kasus-kasus yang masih terjadi di Indonesia.
RAN mengingatkan, klaim yang telah dibuat oleh banyak perusahaan merek dagang dan bank tentang penghapusan deforestasi atau pelanggaran HAM yang dilakukan, hingga saat ini tidak dapat dipercaya. Sebab tidak ada mekanisme verifikasi independen yang kredibel yang dapat digunakan untuk memastikan kebijakan NDPE itu dipatuhi.
Pemberian nilai yang dilakukan RAN terhadap beberapa perusahaan paing berpengaruh yang memicu perusakan hutan hujan dan pelanggaran HAM, menggunakan metodologi yang telah dirancang untuk memastikan bahwa setiap upaya dalam pengambilan tindakan nyata bagi hutan dan masyarakat harus mencakup keseluruhan operasi perusahaan.
Walaupun banyak merek dan bank ini telah mengadopsi berbagai komitmen dan kebijakan NDPE, dan menjunjung tinggi HAM juga masyarakat adat dalam praktik bisnis mereka setelah COP26, namun sejak diadopsinya Perjanjian Paris, bank-bank raksasa Dunia ini terbukti telah memberikan setidaknya USD22,5 miliar kepada perusahaan komoditas berisiko hutan yang beroperasi di tiga kawasan hutan tropis terbesar di Indonesia, Cekungan Kongo dan Amazon. JPMorgan Chase adalah yang terbesar, dengan memberikan USD9 miliar, diikuti oleh MUFG dengan USD4 miliar.
BNI, CIMB dan ICBC masih tertinggal karena tidak memiliki kebijakan NDPE sama sekali, meski dalam beberapa tahun terakhir bank-bank lain seperti MUFG menerbitkan kebijakan NDPE parsial untuk sawit. Namun, MUFG tidak mewajibkan perusahaan pedagang minyak sawit untuk mematuhi kebijakan ini, dan gagal dalam mengatur pemberian pinjamannya kepada komoditas lain seperti pulp & kertas dan daging sapi yang juga berisiko terhadap hutan.
Di sisi lain, MUFG masih terus mendanai Indofood, perusahaan makanan terbesar Indonesia yang dikeluarkan dari skema sertifikasi Rountable on Sustainable (RSPO) atas pelanggaran praktik buruh oleh salah satu anak perusahaan kelapa sawitnya, PT London Sumatera (Lonsum). Padahal bank-bank seperti Citigroup, Standarf Chartered dan perusahaan merek PepsiCo, seluruhnya telah memutuskan hubungan bisnis dnegan Indofood. Sedangkan MUFG tetap memilih meneruskan mendanai Indofood, meskipun baru-baru ini berjanji untuk membersihkan investasi minyak sawit mereka.
"Semenjak dikeluarkan dari RSPO, kondisi buruh di perkebunan Lonsum terus memburuk. Meski sudah mendapatkan suntikan dana yang begitu besar dari MUFG, Lonsum masih saja tidak memberikan hak pesangon terhadap lebih dari 200 buruh yang mereka PHK selama pandemi. Suntikan dana yang diterima perusahaan tidak dipergunakan untuk memperbaiki hak buruh sawit," ungkap Herwin Nasution, Direktur Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha Kerakyatan (OFFUK).
Herwin mengatakan, saat ini OPPUK, Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang tengah mengajukan dua gugatan hukum yang mewakili hampir 200 pekerja Lonsum di Sumatera Selatan atas hak pesangon mereka. Apabila gugatan itu dimenangkan, PT Lonsum harus membayar tambahan uang pesangon sebesar USD960 ribu kepada para mantan pekerjanya. Yang berarti, PT Lonsum saat ini menghadapi hutan pesangon untuk buruh lebih dari USD1 juta.
Lain halnya dengan Procter & Gamble. Perusahaan merek dagang ini juga menjadi perusahaan dengan nilai terburuk, karena masih menerima minyak sawit dari salah satu anak perusahaan perusak hutan di Indonesia, Royal Golden Eagle (RGE) yang berada di bawah kendalo taipan Sukanto Tanoto.
Bukan hanya terhubung dengan Procter & Gamble, Sukanto Tanoto juga diketahui mendengalikan Pinnacle Company Limited yang menguasai saham perusahaan pulp dan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL). Yang mana PT TPL memiliki rekam jejak pelanggaran HAM dan konflik lahan dengan Masyarakat Adat Batak di Tanah Toba di Sumatera Utara yang hingga kini belum juga tuntas.
PT TPL tercatat mulai menghancurkan hutan di wilayah adat Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria sejak sekitar 2003 sila. PT TPL terkesan sama sekali tidak menganggap kebedaraan masyarakat adat itu. Lantaran perusahaan tersebut tidak melakukan konsultasi dan memberikan informasi tentang rencana pembangunan Hutan Tanaman Industri eukaliptus yang mereka bangun.
Dalam melakukan pembabatan hutan PT TPL selalu dikawal oleh aparat keamanan dan aparat hukum setempat. Masyarakat di sana menganggap hal itu merupakan bentuk intimidasi yang nyata untuk meredam penolakan masyarakat adat.
"Hutan kemenyan Pargamanan-Bintang Maria yang menjadi sumber mata pencaharian dan hidup masyarakat, terncam digunduli untuk ditanami eukaliptus oleh PT TPL. Sementara masyarakat masih menunggu pengakuan Negara atas wilayah adat dan hutan adat mereka," ujar Rocky Pasaribu, Koordinator Studi dan Advokasi Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).
Rocky menyebut, tekanan pasar sangat mempengaruhi percepatan penyelesaian konflik agraria. Karena perusahaan cenderung mampu menyelesaikan segala persoalan di lokal, namun tidak demikian dengan konsumen atau pasar. Sebab ketersediaan pasar yang bersedia menampung produk yang dihasilkan suatu perusahaan sangat terbatas, dan itu akan merepotkan pihak perusahaan.
Semua bank dan merek yang dievaluasi gagal mensyaratkan bukti Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC) dari klien, pemasok, dan penerima investasinya. Hingga saat ini, tidak ada satu bank atau merek pun yang menerbitkan prosedur yang akan mereka gunakan untuk memastikan hak masyarakat adat dan lokal untuk menolak pembangunan di tanah adat mereka dihormati.
Beberapa merek telah melakukan perbaikan pada kebijakan mereka selama setahun terakhir, termasuk Colgate-Palmolive, Ferrero, dan Kao, meski masih tertinggal dari rekan-rekan lainnya. Unilever jadi satu-satunya merek yang telah mengadopsi kebijakan yang kredibel untuk mengatasi dampaknya berikut risiko dari rantai pasokan komoditasnya.
Nestlé tetap menjadi satu-satunya merek yang berkomitmen untuk mengungkapkan jejak hutannya di seluruh dunia. Bank CIMB Malaysia memang mengumumkan kebijakan NDPE, namun pengumuman itu tidak menjelaskan cakupan kebijakan dan tidak merinci komoditas mana yang akan diikutsertakan berikut waktu pelaksanaan kebijakannya.
Direktur TuK Indonesia Edi Sutrisno mengatakan, bank-bank yang tertinggal dalam evaluasi ini harus segera menghentikan pendanaanya dari perusahaan-perusahaan yang terbukti terkait dengan deforestasi dan pelanggaran HAM, serta mendorong agar bank-bank yang beroperasi di Indonesia untuk menyelaraskan portfolio pendanaan mereka dengan Taksonomi Hijau yang baru dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun ini.
Edi mengatakan, perbaikan regulasi kebijakan lembaga jasa keuangan maupun para pelaku pasar itu penting, namun jangan sampai perbaikan regulasi hanya jadi lips service belaka untuk mendapatkan sertifikat keberlanjutan.
Dikatakannya, perusahaan cenderung memiliki sumber keuangan dan jaringan pasar lebih dari satu. Sehingga bila tidak mendapat pendanaan dari satu sumber maka akan mencari pendanaan dari sumber lain. Begitu juga dengan jaringan pasar. Untuk itu lembaga jasa keuangan dan pelaku pasar harus mempunyai dan memperbaiki kebijakannya.