Kerusakan Gambut Perparah Bencana Banjir
Penulis : Aryo Bhawono
Gambut
Kamis, 13 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kerusakan gambut kian memperparah bencana banjir di kawasan sekitar Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Ironisnya lahan gambut yang rusak tak bisa dipulihkan.
Kerusakan lahan gambut tak melulu menciptakan bencana kebakaran hutan dan lahan. Pantau Gambut menyebutkan kerusakan gambut telah menjadi biang banjir di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan sekitarnya.
Riset yang mereka lakukan, bertajuk ‘Tenggelamnya Lahan Basah’ mencatat degradasi lahan menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menyerap air. Alhasil genangan air menjadi tidak terkontrol dan menciptakan banjir.
Mereka menggabungkan data topografi, iklim, dan kondisi lahan gambut menggunakan Sistem Informasi Geospasial (GIS). Riset ini menjelaskan tingkat kerentanan banjir di tiga regional sebaran KHG di Indonesia.

Secara keseluruhan, sebanyak 25 persen area KHG masuk dalam kategori kerentanan banjir tinggi, 18 persen dengan kerentanan sedang, dan 57 persen dengan kerentanan rendah.
Peneliti Pantau Gambut, Juma Maulana, mengungkapkan berdasar pengelompokan sebaran KHG, Kalimantan mencatat tingkat kerentanan banjir tertinggi, diikuti oleh Sumatera dan Papua.
Sedangkan provinsi dengan kerentanan banjir paling tinggi adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Riau.
“KHG paling parah ada di Kalteng karena saluran drainase berdekatan dan saling berkaitan,” ucapnya ketika merilis laporan di Jakarta pada Rabu (12/3/2025).
Peta Sebaran Kerentanan banjir pada KHG di Indonesia. Data: Pantau Gambut
Ia menyebutkan degradasi lahan gambut akibat aktivitas perkebunan skala besar telah mengubah lanskap wilayah ini. Kanalisasi secara masif menghilangkan kemampuan gambut untuk menyerap air hujan, sehingga banjir menjadi lebih sering terjadi.
Proses drainase juga merusak struktur gambut seperti penurunan muka tanah (subsidens). Bahkan drainase berlebihan membuat lahan gambut menjadi lebih rendah dari permukaan air sungai atau laut di sekitarnya.
Kerusakan ini bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan. Hasilnya, genangan air semakin meluas, terutama saat musim hujan.
Cadangan air tawar pun berkurang akibat meresapnya air laut ke dalam air tanah (intrusi), dan infrastruktur seperti bangunan dan jalan mengalami kerusakan. Akibatnya, lahan menjadi lebih rentan terhadap banjir, terutama di daerah pesisir. Produktivitas lahan juga mengancam mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada lahan gambut
Kerusakan gambut seperti subsiden yang bersifat permanen (irreversible), sehingga tidak akan bisa dipulihkan. Kondisi ini menyebabkan genangan air semakin meluas, terutama saat musim hujan.
Cadangan air tawar pun berkurang akibat meresapnya air laut ke dalam air tanah (intrusi), dan infrastruktur seperti bangunan dan jalan mengalami kerusakan. Akibatnya, lahan menjadi lebih rentan terhadap banjir, terutama di daerah pesisir.
Analisis turunan mengidentifikasi KHG yang memiliki tingkat kerentanan banjir yang cukup tinggi. Kerentanan banjir tinggi banyak terkonsentrasi di regional Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan.
“Bahkan, di kedua regional ini, KHG dengan kerentanan tinggi cenderung saling berdekatan, menciptakan area yang rentan secara luas,” ucap dia.
Juma mencontohkan di Kalimantan Tengah, KHG Sungai Kahayan–Sebangau, KHG Sungai Kahayan– Kapuas, dan KHG Sungai Kapuas–Barito yang terletak di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, memiliki tingkat kerentanan banjir yang cukup tinggi. Ketiga KHG ini tidak hanya berdekatan secara geografis, tetapi juga menunjukkan karakteristik kerentanan yang serupa, di mana hampir seluruh area KHG tersebut masuk dalam kategori rentan.
Sedangkan di Sumatera Selatan, kondisi serupa juga ditemukan. Sebagian besar KHG di wilayah ini memiliki tingkat kerentanan banjir yang tinggi, dengan dua KHG yang paling menonjol adalah KHG Sungai Sugihan–Lumpur dan KHG Sungai Saleh–Sugihan yang berada di Ogan Komering Ilir (OKI).
“Kedua KHG ini juga menunjukkan tingkat kerentanan yang signifikan, yang memerlukan perhatian khusus dalam upaya restorasi,” kata dia.
Kerentanan banjir Berdasar Provinsi (Ha). Data: Pantau Gambut
Ahli Hidrologi Gambut Universitas Palangkaraya, Kitso Kusin, menyebutkan kerusakan lahan gambut di Kalimantan Tengah sangat dipengaruhi oleh Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di masa orde baru. Penelitian yang dia lakukan pada rentang 2006-2009 menunjukkan penurunan lahan gambut yang menyebabkan kebakaran di musim kemarau dan banjir pada musim penghujan.
“Penurunan gambut pada rentang selama tiga tahun itu, di Sungai Kahayan, Desa Taruna, mencapai 4 cm,” ucapnya.
Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut, Wahyu A Perdana, menyebutkan pemerintah seharusnya mencegah degradasi ekosistem gambut lebih lanjut dengan pendekatan berbasis ekosistem hidrologis harus menjadi acuan utama dalam penyusunan kebijakan. Pengelolaan lahan gambut tidak boleh hanya berfokus pada mitigasi kebakaran hutan, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap siklus hidrologis dan risiko bencana banjir.
Selain itu, perlu adanya penguatan regulasi dan kelembagaan yang mampu menangani permasalahan ekosistem gambut secara lebih komprehensif.
“Karena kerusakan ini permanen, maka bencana menjadi abadi. Pemerintah sudah semestinya melakukan tindakan vital untuk merestorasi gambut di semua lini, kebijakan sampai komitmen,” kata dia.