3 Hulu Sungai di Jabodetabek Kehilangan 2300 Ha Hutan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Rabu, 12 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Banjir yang melanda Kawasan Puncak Bogor telah menyebabkan gangguan aktivitas dan kerusakan infrastruktur publik di sejumlah titik. Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan aliran Sungai Ciliwung meluap dan merendam area pemukiman dan jalur utama yang menghubungkan Bogor dengan Kawasan Puncak.

Jakarta dan Kota Bekasi turut lumpuh akibat meluapnya Sungai Ciliwung dan Kali Bekasi.

Temuan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan masifnya kerusakan hutan di 3 hulu sungai yang mencapai 2.300 hektare menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai konservasi air dan tanah.

Pengkampanye Hutan FWI, Tsabit Khairul Auni mengatakan hutan memiliki fungsi menyimpan air di dalam tanah. Keberadaan hutan dapat menahan air hujan agar tidak langsung dibuang ke sungai. Kerusakan hutan akibat alih fungsi di Hulu DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane mendorong meluapnya sungai sehingga menyebabkan banjir yang merendam sejumlah wilayah di Kawasan Puncak, kota-kota di Jakarta dan Bekasi.

Jembatan di Kecamatan Cisarua, Bogor, ambruk akibat banjir. Foto: FWI.

Dampak buruk dari hilangnya hutan alam adalah berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap air, sehingga meningkatkan risiko run-off (aliran permukaan) dan mempercepat terjadinya banjir. Konversi lahan yang masif kemudian menjadi lahan terbangun juga semakin memperparah situasi.

“Lahan terbangun baik dalam bentuk villa, objek wisata beserta fasilitas pendukung seperti rest area, permukiman dan infrastruktur jalan menyebabkan air hujan sulit terinfiltrasi ke dalam tanah dan meningkatkan terjadinya banjir,” kata Tsabit, dalam sebuah pernyataan tertulis, Selasa (11/3/2025).

Peta kondisi kawasan Puncak di Megamendung dan Cisarua pada 2000. Sumber: FWI.

Peta kondisi kawasan Puncak di Megamendung dan Cisarua pada 2022. Sumber: FWI.

Menurut catatan FWI (2025), deforestasi atau kerusakan hutan alam di ketiga DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane sudah mencapai 2.300 hektare sepanjang 2017 sampai 2023, atau setara dengan 850 kali luas lahan Gedung Sate di Bandung. Selain itu, analisis FWI juga menemukan perubahan signifikan terhadap kondisi penutupan hutan dan lahan di Kawasan Puncak Bogor tahun 2017 hingga 2024.

Rusaknya hutan alam terjadi akibat alih fungsi yang terus berlangsung. Dari total kerusakan hutan alam 310 hektare di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua Bogor, sekitar 208,76 hektare telah beralih menjadi perkebunan, sekitar 26,64 hektare menjadi lahan terbangun, dan 75,33 hektare beralih menjadi lahan terbuka.

Perbandingan peta tutupan lahan Puncak pada 2017 dan 2024. Sumber: FWI.

Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, menjelaskan bahwa kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) butuh ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat. Sayangnya hutan tidak lagi dilihat sebagai fungsi, melainkan komoditas yang selalu dikalahkan untuk berbagai kepentingan.

Sisa hutan di ketiga das, yakni Ciliwung (14%), Kali Bekasi (4%), dan Cisadane (21%). Rata-rata persentase luas hutan alam tersisa terhadap luas das di bawah 30 persen. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) memandatkan setidaknya 30 persen dari luas das merupakan kawasan hutan.

“Hutan harus dilihat sebagai fungsinya untuk menunjang sistem penyangga kehidupan bukan sekedar tegakan pohon saja untuk dieksploitasi,” katanya.

Anggi melanjutkan, dalam UUK, fungsi hutan dibagi ke dalam 3, yakni lindung, produksi, dan konservasi. Kementerian Kehutanan telah menunjuk hutan di 3 wilayah das (Ciliwung, Kali Bekasi, Cisadane) setidaknya sekitar 23 ribu hektare dari ketiga das tersebut sebagai kawasan hutan produksi.

Artinya, imbuh Anggi, kebijakan yang ada justru mendorong perusakan hutan bukan perlindungan hutan. Hutan produksi lebih mengedepankan hasil hutan kayu dibanding hasil hutan bukan kayu seperti jasa lingkungan. Kebijakan ini turut mendorong kerusakan hutan di tingkat tapak secara terencana.

Peta wilayah terdampak banjir pada 2025 di DKI Jakarta dan Kota Bekasi. Sumber: FWI.

Perubahan kebijakan tata ruang juga turut memfasilitasi alih fungsi hutan dan lahan di ketiga hulu sungai di Kabupaten Bogor. Setidaknya terjadi penyusutan kawasan lindung dalam rencana pola ruang Kabupaten Bogor. Luasnya diperkirakan mencapai 71.595 hektare dari kawasan lindung ke kawasan budidaya.

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor yang saat ini berlaku memiliki kawasan lindung yang lebih sedikit dibandingkan dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 tentang RTRW Kabupaten Bogor yang berlaku sebelumnya. Di Kawasan Puncak Bogor, kawasan perkebunan teh dan kawasan hutan produksi merupakan kawasan lindung pada Perda RTRW sebelumnya, sehingga pembangunan sangat dibatasi.

Menurut Anggi, sebagai konsekuensi, perkebunan teh di Kawasan Puncak Bogor yang berada di atas Hak Guna Usaha (HGU) juga berfungsi sebagai daerah resapan air. Perubahan peruntukan ruang menjadi kawasan budidaya seperti pada Perda RTRW saat ini memungkinkan pembangunan lebih bebas dan terang-terangan.

“Konversi kebun teh terjadi secara besar-besaran di Kawasan Puncak Bogor untuk memenuhi ambisi pembangunan wisata dengan mengalih-fungsikan daerah resapan air seperti yang terjadi pada objek wisata 'Hibisc Fantascy Puncak',” ucap Anggi.