UU Minerba Baru: Untuk Menundukkan Kampus, Merangkul Ormas Agama

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 21 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Respons atas pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) terus bermunculan. Kali ini dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menganggap revisi UU tambang terbaru itu hanya memuluskan agenda perampasan tanah rakyat, perusakan lingkungan, dan kooptasi institusi perguruan tinggi.

YLBHI mengungkap beberapa masalah di balik pengesahan kebijakan tersebut. Yang pertama, pengesahan revisi UU Minerba dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Proses pembahasannya tidak transparan dan minim kajian mendalam terkait dampak sosial, lingkungan, dan akademik.

“Hal ini kian mencerminkan watak pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan rakyat,” kata Muh. Isnur, Ketua YLBHI, Rabu (19/2/2025).

Isnur melanjutkan, pengesahan UU Minerba terbaru ini memperlihatkan bagaimana kampus diarahkan untuk menjadi klien dalam mekanisme penerima manfaat dari perusahaan tambang. Dengan adanya celah hukum yang memungkinkan kampus terlibat dalam bisnis pertambangan, dunia pendidikan semakin dikomersialisasi.

Tampak dari ketinggian salah satu areal pertambangan batu bara yang dikelola PT Arutmin Indonesia./Foto: Arutmin.com

Kampus, imbuhnya, bukan lagi tempat mencari ilmu demi kepentingan rakyat untuk secara aktif menjawab masalah-masalah sosial, melainkan menjadi mesin produksi tenaga kerja yang melayani kepentingan pasar, khususnya industri tambang. Dunia pendidikan akan didorong untuk semakin berkontribusi pada optimalisasi profit bisnis tambang.

Hal ini memperparah kecenderungan pendidikan tinggi yang sudah lama terjebak dalam logika bisnis dan komersial. Penundukan kampus bukan hanya membungkam sikap kritis akademisi, tetapi juga membuat kampus semakin tunduk pada mekanisme pasar. Akibatnya, biaya pendidikan menjadi semakin tidak menentu, bergantung pada fluktuasi produksi dan penjualan hasil tambang.

“Ini memperburuk aksesibilitas pendidikan tinggi bagi masyarakat yang kurang mampu,” katanya.

Isnur mengatakan, industri pertambangan selama ini telah mengakibatkan pelanggaran HAM, mulai dari perampasan lahan masyarakat, kriminalisasi aktivis lingkungan, hingga konflik sosial. Dengan keterlibatan kampus dalam bisnis tambang, mahasiswa dan akademisi yang menentang kebijakan ini berisiko menjadi sasaran represi.

Isnur bilang, kekerasan terhadap masyarakat terdampak tambang juga akan semakin meningkat seiring dengan perluasan eksploitasi sumber daya alam. Revisi UU Minerba ini, lanjutnya, tetap mempertahankan ormas keagamaan sebagai subjek yang bisa mendapatkan IUPK. Situasi di lapangan, konflik yang muncul dalam gerakan penolak tambang sering terjadi antara negara-perusahaan vs warga.

“Pemberian IUPK akan memperluas subjek yang dapat berkonflik dengan warga, yaitu anggota-anggota ormas keagamaan,” ucap Isnur.

Lebih lanjut Isnur mengatakan, revisi UU Minerba seharusnya mengubah pasal-pasal bermasalah dalam UU sebelumnya. UU Minerba yang baru saja disahkan masih mempertahankan ketentuan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya serta sistem perizinan yang ditarik ke pusat, yang justru menjauhkan akses layanan publik dari masyarakat terdampak. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam yang merugikan mereka.

Isnur menjelaskan, di dalam UU Minerba baru ini DPR memasukkan pasal baru mengenai pertimbangan tata ruang. Pasal 17A menyebutkan, dalam hal belum terdapat penetapan tata ruang dan/atau kawasan, penetapan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menjadi dasar bagi penetapan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan.

Pasal ini akan mengacak-acak prinsip penataan ruang harus sesuai dengan kepentingan umum. Dengan adanya pasal ini, penataan ruang suatu wilayah/daerah dapat disesuaikan dengan titik-titik tambang, tidak peduli apakah titik itu berada di area pemukiman atau lahan warga.

Ke depannya, perampasan tanah petani dan masyarakat pedesaan dapat dengan mudah dilakukan atas dasar “area ini tidak cocok untuk pemukiman atau kegiatan bertani karena terdapat kandungan batubara di bawahnya,” ujar Isnur.