Paus Pembunuh Terlihat untuk Pertama Kali di Laut Kaimana, Papua
Penulis : Kennial Laia
Konservasi
Jumat, 17 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Paus pembunuh terdeteksi untuk pertama kalinya di perairan Kaimana, Papua Barat. Dalam studi terbaru, para ilmuwan mengungkap bahwa spesies tersebut terlihat berada di salah satu kawasan segitiga terumbu karang dunia.
Paus pembunuh (Orcinus orca) jarang ditemukan di perairan tropis seperti Indonesia, berkisar 0-0,10 individu per kilometer persegi. Hal ini karena peluang mencari makan terbatas serta ancaman dari aktivitas manusia. Di perairan Kaimana, yang diidentifikasi sebagai habitat penting mamalia laut pada 2018, keberadaannya juga terbilang rendah. Spesies ini juga masuk daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dengan status terancam punah.
Menurut para peneliti, perairan Kaimana menjadi habitat bagi populasi lumba-lumba dan paus yang sering terlihat mencari makan. Di antaranya lumba-lumba bungkuk Australia (Sousa sahulensis), lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik (Tursiops aduncus), lumba-lumba pemintal (Stenella longirostris), dan paus Bryde (Balaenoptera edeni). Namun, hingga kini, informasi ilmiah tentang ekologi cetacea di wilayah ini masih minim.
Dalam jurnal terkini yang diluncurkan Jumat, 10 Januari 2025, sembilan peneliti yang tergabung dalam kelompok penelitian yang dipimpin oleh Konservasi Indonesia dan Conservation International, mengumumkan temuan terbaru yaitu kemunculan paus pembunuh serta keterikatan antara kelompok cetacea dengan bagan apung.
“Kami mengidentifikasi adanya lima spesies cetacea di wilayah perairan Kaimana, termasuk penemuan baru adanya paus pembunuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik memiliki keterkaitan kuat dengan perikanan bagan. Mereka sering terlihat memakan ikan teri yang berada di luar jaring bagan pada pagi hari," kata Focal Species Conservation Program Konservasi Indonesia, Iqbal Herwata, Kamis, 16 Januari 2025.
"Sementara itu, spesies lain terlihat lebih jarang. Hal ini dapat disebabkan oleh preferensi kuat spesies tersebut terhadap habitat pesisir, yang beririsan dengan area operasi perikanan bagan di Kaimana. Selain itu, lumba-lumba bungkuk Australia, paus Bryde, dan lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik tercatat hadir sepanjang tahun, yang menunjukkan bahwa mereka adalah penghuni tetap di wilayah ini,” ujarnya.
Kelima spesies yang ditemukan di Kaimana masuk ke dalam daftar merah spesies terancam punah IUCN, dengan dua spesies berstatus “risiko rendah”, “data kurang” (satu spesies), “hampir terancam” (satu spesies), dan “rentan” (satu spesies).
Menurut tim lapangan yang melakukan pengamatan dalam studi ini, Yance Malaiholo, spesies paling sering terlihat selama waktu penelitian adalah lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, sebanyak 130 kali kemunculan. Data ini mencakup 49,62% dari seluruh pengamatan cetacea, serta 2.612 individu yang tercatat atau 72,96% dari total individu yang diamati. Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk mengestimasi populasi lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik agar lebih akurat.
“Dalam penelitian ini kami melakukan pengamatan dari pagi hingga sore hari, bertepatan dengan waktu operasi bagan. Ketika hasil tangkapan melimpah, beberapa jaring dibiarkan tetap terendam, dan menarik perhatian cetacea serta hiu paus,” kata Yance.
“Selama penelitian, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik juga menjadi spesies yang paling sering terlihat, terutama di depan kota Kaimana, dibandingkan wilayah lain seperti Teluk Bicari, Namatota, atau Teluk Triton,” ujarnya.
Penelitian ini, yang berlangsung dari Mei 2021 hingga Maret 2023, juga menyimpulkan Kaimana sebagai wilayah penting untuk habitat dan tempat makan spesies cetacea. Iqbal mengatakan, temuan terbaru ini juga berpotensi memenuhi kriteria tambahan habitat penting mamalia laut, yakni keberadaan populasi kecil dan tetap dari tiga spesies yakini lumba-lumba bungkuk Australia, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, dan paus Bryde, yang tidak terdokumentasi pada penilaian sebelumnya.
Lumba-lumba hidung botol Indo Pasifik terlihat sedang memakan ikan teri di sekitar kapal bagan di perairan Kaimana, Papua Barat. Dok. Konservasi Indonesia/Yance Malaiholo
Penelitian ini juga menjadi studi pertama di Asia yang menggunakan bagan sebagai platform untuk pengamatan cetacea, dengan tujuan memberikan wawasan tentang keragaman spesies cetacea, perilaku makan, variasi pengamatan, dan frekuensi kemunculan. Di sisi lain, penelitian tersebut mengungkap metode ini dapat menyebabkan bias terkait ekologi spesies tersebut.
“Misalnya, keragaman spesies yang mungkin kurang terwakili karena pengamatan terbatas pada lokasi tempat perikanan bagan beroperasi, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir, sehingga berpotensi melupakan spesies yang tinggal di laut dalam,” kata Vice President Marine Program Conservation International Mark Erdmann.
“Selain itu, kondisi cuaca buruk yang membatasi aktivitas perikanan juga membatasi upaya survei, yang mengakibatkan pemahaman yang belum lengkap tentang pola waktu keberadaan cetacea. Oleh karena itu, pola-pola ini harus diinterpretasikan secara spesifik sebagai interaksi cetacea dengan bagan,” kata Mark.
Para peneliti mengatakan pemerintah provinsi Papua Barat perlu memastikan pengelolaan perikanan di kawasan tersebut, mengingat sebagian besar interaksi antara perikanan bagan dan cetacea ini terjadi di luar kawasan konservasi perairan Kaimana.
“Pemerintah lokal harus dapat memastikan keberlanjutan stok ikan teri, yang tidak hanya penting bagi masyarakat dan industri perikanan tangkap, tetapi juga sebagai sumber makanan bagi populasi paus Bryde, lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik, dan lumba-lumba bungkuk Australia,” kata Iqbal.
“Saat ini, informasi tentang penilaian stok ikan teri di Kaimana sangat terbatas. Kami merekomendasikan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penilaian stok ikan teri guna memahami sejauh mana tingkat pemanfaatan terjadi di wilayah ini, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk langkah-langkah pengelolaan perikanan,” ujar Iqbal.