Walhi Sumut Temukan Dugaan Pelanggaran HAM PLTP Sorik Marapi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 16 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) mengungkapkan fakta baru dan bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat sekitar PLTP Sorik Marapi. Temuan tersebut diperoleh dari hasil investigasi di lokasi pembangunan-operasional PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), di Kabupaten Mandailing Natal, akhir tahun 2024 lalu.

Fakta dan bukti tersebut di antaranya yakni tidak adanya akses pemulihan terhadap para korban keracunan massal, tidak dilakukannya pembenahan pascatragedi-tragedi terdahulu, dan pembiaran terhadap kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas perusahaan.

“PT SMGP tidak memberi akses pemulihan terhadap para korban keracunan massal pasca-tragedi 22 Februari 2024. PT SMGP hanya bertindak untuk meng-cover pembiayaan rumah sakit (di RS Permata Madina dan RSUD Panyabungan) tanpa aksi lain selanjutnya,” kata Rianda Purba, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumut, Senin (13/1/2025).

PT SMGP, ujar Walhi Sumut, malah mengeluarkan rilis hasil pemeriksaan terpadu dengan reka ulang aktivasi sumur V-01 yang menyebutkan tidak adanya kebocoran gas H2S. Isi rilis tersebut berbeda dengan kesaksian para korban yang menyimpulkan bahwa tidak mungkin ada bau menyengat dan keracunan tanpa adanya aktivitas perusahaan.

Tampak wellpad V, PLTP Sorik Marapi, yang dioperasikan oleh PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Foto: Walhi Sumut.

Rilis ini pernah dibantah keabsahannya oleh Walhi Sumut, Maret tahun lalu. Para korban, berdasarkan hasil wawancara Walhi Sumut, mengaku mengalami trauma. Sebab kejadian tersebut tidak terduga, dan tidak ada sosialisasi mengenai ancaman ini sebelumnya.

“Begitupun setelahnya, mereka (masyarakat) tidak tahu harus berbuat apa, sebab PT SMGP seolah membiarkan mereka. Tidak ada diskusi lanjutan, inisiasi musyawarah untuk pemulihan korban, dan sejenis yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan,” katanya.

Kemudian, PT SMGP setidaknya sudah beberapa kali menyebabkan tragedi kebocoran gas H2S. Terparah, terjadi pada tahun 2021, di mana ada 5 orang meninggal akibat keracunan. Hingga tragedi terakhir, PT SMGP belum juga lakukan pembenahan serius.

Hal ini, didapat Walhi Sumut pasca-tragedi terakhir. Disebutkan aktivitas perusahaan berupa eksploitasi panas bumi yang riskan, tidak diiringi sosialisasi yang baik terhadap warga. Hal ini terbukti dari minimnya informasi baik dari papan informasi dan komunikasi dari para humas baik dari PT SMGP atau sub-kontraktor, maupun kegiatan-kegiatan sosialisasi bersama warga.

Padahal, kata Rian, Dirjen EBTKE sudah menyatakan, pada 2021 silam, bahwa PT SMGP telah lakukan perencanaan kegiatan yang tidak matang, pelanggaran terhadap prosedur yang telah ditetapkan, peralatan dan instalasi penunjang yang belum siap/lengkap, lemahnya koordinasi antartim pelaksana kegiatan, pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat yang tidak memadai, serta kompetensi personel pelaksana kegiatan yang tidak memadai.

“Terbukti, kejadian di Februari 2024 terjadi akibat tidak dilakukannya pembenahan oleh PT SMGP meski sudah diperingati oleh Dirjen EBTKE pada 2021 silam. Pada akhirnya, tragedi berulang, dan korban berjatuhan kembali,” ucap Rian.

Rian bilang, aktivitas PT SMGP tidak hanya meracuni warga, namun juga terbukti merusak lingkungan. Setiap akhir tahun, selalu terjadi longsor dan banjir besar di Desa Hutaraja dan Desa Hutajulu. Kedua desa ini adalah area ring 2 perusahaan.

Aktivitas PT SMGP di kawasan Sibanggor Julu dan Sibanggor Tonga secara geografis berada di wilayah dataran yang lebih tinggi dari Hutaraja dan Hutajulu. Menurut penuturan warga kepada Walhi, akibat aktivitas ini setiap akhir tahun (ketika curah hujan tinggi) perladangan dan kebun di Hutaraja dan Hutajulu selalu terkena banjir dan longsor.

Kejadian ini bermula pada akhir 2023 dan terulang kembali di akhir 2024. Salah satu warga yang terkena dampak menyebutkan kejadian ini tergolong anyar dan menyebabkan kebunnya seolah memiliki anak-anak sungai baru.

“Hal ini juga berimbas pada objek wisata pemandian air panasi di Desa Hutaraja yang kebanjiran tiap akhir tahun. Sempat ada kompensasi yang diberikan, namun tidak semua lahan diganti-rugi oleh perusahaan,” kata Rian.

Selain tiga temuan tersebut, Rian melanjutkan, Walhi Sumut juga menemukan bahwa aktor-aktor dan tokoh lokal banyak terlibat dalam aktivitas pembangunan dan operasional PLTP Sorik Marapi, baik sebagai pekerja, kontraktor dan lain sebagainya.

“Kriminalisasi terhadap para demonstran di penolakan awal PT SMGP (kala masih dipegang OTP Geothermal) pada 2014, telah membuat masyarakat bungkam untuk bersuara,” ucapnya.

Ketakutan dan trauma warga bertambah kala uji sumur dilakukan, di mana Polres Mandailing Natal kerap menempatkan banyak polisi untuk berpatroli di desa. Mereka bukan sekedar menertibkan warga untuk tidak keluar rumah, namun juga untuk mencegah kerusuhan atau menertibkan mereka yang diduga akan menjadi provokator.

“PT SMGP disinyalir akan diakuisisi oleh Pertamina (PGE). PT SMGP yang terbukti melakukan pelanggaran HAM tengah menargetkan pendanaan dari obligasi hijau,” kata Rian.

Menanggapi laporan dugaan pelanggaran HAM di PLTP Sorik Marapi itu, Corporate Communications PT SGMP menyatakan9 bahwa isu kebocoran gas pada awal 2024 tidaklah benar.

“Mengenai isu kebocoran gas yang terjadi pada awal tahun 2024, PT SMGP menegaskan bahwa tidak ada kebocoran gas di jalur pipa milik PT SMGP,” kata Corporate Communications PT SMGP, dalam sebuah surel, Rabu (15/1/2025).

Dalam surel itu PT SMGP menyatakan bahwa perseroan bersama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), , dan tim laboratorium forensik Kepolisian Sumatra Utara, telah melakukan investigasi dan reka ulang aktivasi sumur V-01 selama 2 hari, yaitu pada 24-25 Februari 2024. 

“PT SMGP juga telah menerapkan H2S abatement system untuk menetralisir kandungan H2S sebelum dialirkan ke atmosfer. Seluruh alat pendeteksi H2S menunjukkan nilai nol (0) ppm dan tidak terdapat satupun pekerja, kepala desa, polisi, dan tim keamanan yang mengalami gejala terpapar gas beracun,” katanya. 

Lebih lanjut PT SMGP mengatakan, sejak insiden 2021, untuk jenis sumur yang memiliki tekanan positif dan mengandung gas di kepala sumur, ketika melakukan pembukaan sumur PT SMGP menerapkan abatement system yang efektif untuk menetralisir H2S sebelum dibuang ke atmosfer.

“Hingga saat ini, tidak pernah terbukti adanya kebocoran gas atas insiden serupa maupun klaim mengenai kebocoran gas, baik dari pengukuran gas, investigasi, dan reka ulang,” tulis PT SMGP.