Kabinet Sawit untuk Indonesia kian Sakit: Kritik Pidato Prabowo

Penulis : Aryo Bhawono

Sawit

Rabu, 01 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Presiden Prabowo Subianto menyebut tak perlu takut memperluas sawit karena tudingan deforestasi. Sebab, kata dia, sawit juga merupakan pohon yang berdaun dan menyerap karbon.

Para aktivis lingkungan menyebutkan pidato ini berbahaya. 

Prabowo menyatakan hal tersebut saat memberikan pengarahan dalam Musrenbangnas RPJMN 2025-2029 di Jakarta, Senin (30/12/2024). Ia menyebutkan banyak negara bergantung pada minyak sawit Indonesia. Perkebunan sawit merupakan aset negara sehingga harus dijaga, baik oleh kepala daerah maupun aparat polisi dan TNI.  

“Itu aset-aset negara dan saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit. Nggak usah takut (dengan) apa itu, membahayakan (karena menyebabkan) deforestation,” ucapnya di depan kepala daerah dan sejumlah pejabat negara.  

Tangkapan layar Presiden Prabowo sedang memberikan pidato pada Musrenbangnas RPJMN 2025-2029 di Jakarta pada Senin (30/12/ 2024). Sumber: akun youtube Sekretariat Presiden

Menurutnya kelapa sawit juga menyerap karbondioksida. Tudingan bahwa sawit merupakan salah satu biang emisi merupakan tudingan yang mengada-ada. 

“Namanya kelapa sawit itu ya pohon, ya kan. Bener nggak? Kelapa sawit itu ya pohon, ada daunnya,” kata dia.

Eropa sendiri, kata dia, panik jika terus menerus tak mendapatkan pasokan minyak sawit Indonesia. Mereka sempat membuat larangan impor sawit yang terlibat deforestasi. 

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menganggap pernyataan Presiden Prabowo soal deforestasi membahayakan dan bertolak belakang dengan komitmen iklim. Penelitian yang dilakukan Satya Bumi bersama 13 organisasi pegiat lingkungan dan HAM menyebutkan daya tampung lingkungan batas atas atau ‘cap sawit’ di Indonesia hanya sampai pada angka 18,15 juta hektare. Penelitian tersebut bertajuk “Kertas Kebijakan: Urgensi Perbaikan Tata Kelola Sawit melalui Kebijakan Penghentian Pemberian Izin dalam Perspektif Ekonomi dan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH).” Penelitian ini di antaranya adalah Sawit Watch, Auriga Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan Madani Berkelanjutan.  

Tampak dari ketinggian lahan di kawasan Suaka Margasatwa Singkil di Aceh.

Temuan penelitian ini penting, mengingat industri sawit di Indonesia terlampau ekspansif dalam dua dekade terakhir. Berdasarkan data pemerintah, melalui Keputusan Menteri Pertanian No 833/ KPTS/SR.020/M/12/2019, luas tutupan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta ha. Analisis Sawit Watch, lembaga yang turut serta dalam penelitian bersama Satya Bumi, menyebutkan sebanyak 35 persen dari data luas sawit pemerintah merupakan milik petani swadaya.

Sementara data MapBiomas Indonesia menunjukkan luas tutupan sawit per 2022 mencapai 17,77 juta hektar. Masifnya pengembangan sawit menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain besar bagi industri sawit dunia.

Andi mengingatkan jika pertumbuhan industri sawit dibiarkan tanpa pengendalian, hasil perhitungan ekonomi dan ekologi menunjukkan potensi kerugian jangka panjang yang besar.  “Karena pernyataan presiden ini akan ditafsirkan perangkat negara sebagai arahan untuk terus ekspansi lahan, membuka hutan alam yang pasti merusak,” kata Andi.

Pernyataan Prabowo pun bertolak belakang dengan berbagai komitmen iklim, maupun langkah-langkah pengendalian deforestasi yang sudah dilakukan Indonesia.

Prabowo juga salah kaprah dalam memandang deforestasi dengan anggapan sawit sebagai pohon yang memiliki daun. Andi menyebutkan definisi deforestasi tak hanya menyoal hutan gundul, tapi juga mengubah lanskap hutan lindung yang sangat  beragam dengan keanekaragaman hayati, sehingga dapat menangkap karbon dengan jumlah yang sangat besar. 

Hutan hujan tropis dapat menangkap 7,6 juta karbon per tahun atau setara dengan 15 persen emisi tahunan dari manusia.

Sedangkan deforestasi merupakan pembabatan hutan alam menjadi lahan untuk perkebunan monokultur seperti kebun kelapa sawit. Secara fungsi akan berubah, dan tidak tergantikan. 

Perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, tak hanya bisa menurunkan kemampuan menangkap karbon melainkan juga menyedot unsur hara yang akan sulit direboisasi menjadi hutan alam. Jadi meski kelapa sawit ada daunnya dan ada batang nya, tetap saja tidak bisa disamakan dengan tutupan hutan alam.

“Sayangnya seorang kepala negara, nyatanya ia tak punya pemahaman yang memadai mengenai deforestasi,” ungkapnya.

Menurutnya kelapa sawit yang ditanam di atas tanah yang dihasilkan dari pembabatan hutan alam sama sekali berbeda dengan pohon-pohon di hutan tersebut. Dia tidak bisa digantikan dengan kelapa sawit yang notabene monokultur.

Hutan mangrove di Desa Kwala Langkat, Kabupaten Langkat, Sumut, dikonversi menjadi perkebunan sawit

Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menduga Presiden Prabowo telah mendapat masukan yang keliru dalam pidatonya. Ia menekankan pemerintah seharusnya melakukan intensifikasi perkebunan sawit, bukan lagi penambahan lahan apalagi membabat hutan alam.

Berbagai program intensifikasi seharusnya dikuatkan dan dilakukan secara konsisten oleh pemerintah. Misalnya saja melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).  

“Intensifikasi, contohnya PSR ini semestinya dilanjutkan untuk peningkatan produktivitas. Kalau ekstensifikasi, dampaknya kita tahu, deforestasi tinggi dan dunia menganggap Indonesia tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi,” kata dia. 

Ia pun menyebutkan riset mengenai batas atas sawit sendiri mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini berkaitan dengan ekstensifikasi sawit yang berisiko membawa bencana ekologis.  

Peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, menyebutkan persoalan deforestasi yang besar akibat sawit, apalagi di lahan gambut, telah terbukti berkontribusi besar pada kerusakan lingkungan maupun tingkat pemanasan global yang terus meningkat. Kerusakan lingkungan ini juga bakal merugikan perkebunan sawit sendiri karena kualitas tanah yang justru semakin buruk. 

Alih-alih memberi pintu terhadap pembukaan sawit baru, kata dia, seluruh pihak harus mengupayakan pemulihan kondisi lingkungan di lokasi sawit yang tidak sesuai peruntukan. Pemerintah seharusnya menertibkan  lahan sawit yang tidak sesuai, dan menjadikannya prioritas dalam kebijakan tata kelola perkebunan di Indonesia. 

“Pemerintah perlu mengevaluasi status legal dan ekologis lahan-lahan sawit, serta melakukan rehabilitasi di area yang seharusnya tetap menjadi hutan atau area konservasi. Indonesia harus dapat memastikan bahwa pengembangan sawit dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip keberlanjutan,” ujarnya.  

Manajer Kampanye Hutan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menyebutkan Prabowo justru mengesampingkan data pemerintah sendiri dalam pidato itu. Data  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2022 menyebutkan sawit bukan tanaman hutan. KLHK juga merinci praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial. 

“Ini menunjukkan bahwa pernyataan Presiden Prabowo tidak berdasarkan data dan fakta yang diterbitkan pemerintah sendiri,” kata Uli.

Data KLHK menyebutkan sawit ilegal dalam kawasan hutan tercatat sekitar 3,2 juta ha. Artinya seluas 3,2 juta ha hutan telah terdeforestasi akibat ekspansi sawit skala besar. 

Presiden pun, kata dia, jelas-jelas tidak memakai data pemerintah sendiri saat berbicara mengenai deforestasi dan sawit. 

“Bukan hanya berdampak pada deforestasi, polusi, kerusakan sungai, krisis air, tapi banjir dan longsor serta kebakaran hutan lahan juga menjadi kerugian yang harus ditanggung rakyat dan lingkungan,” ucapnya.