Walhi Jatim Ulti Pemprov dkk. Ambil Langkah Atasi Banjir
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekologi
Sabtu, 28 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dampak krisis iklim telah dirasakan langsung lagi rutin di beberapa wilayah Jawa Timur (Jatim). Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, dampak dari perubahan iklim itu telah memicu bencana banjir di Kota Malang yang merendam 254 rumah warga--47 rumah di Kelurahan Jodipan, 10 rumah di Kelurahan Kedungkandang, 37 rumah di Kelurahan Lesanpuro, dan 160 rumah di Kelurahan Madyopuro.
Sedangkan di Surabaya, banjir terjadi di hampir 20 titik, termasuk kawasan vital seperti Jalan Ahmad Yani. Sementara di Sidoarjo, banjir melanda hampir 10 titik, seperti Waru, Taman, dan Bungurasih. Selain tiga wilayah tersebut, bencana ekologis ini juga dilaporkan melanda wilayah Kabupaten Ponorogo, Mojokerto, Jombang, dan Pasuruan.
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), banjir tersebut disebabkan oleh awan Cumulonimbus (CB) yang menghasilkan curah hujan tinggi, yang diperparah oleh fenomena atmosfer seperti gelombang Kelvin dan Rossby.
Adapun versi Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, banjir yang melanda ibu kota Jatim itu terjadi akibat luapan sungai dari daerah hulu yang dipicu curah hujan tinggi di Jatim. Walhi Jatim melihat narasi yang disampaikan Wali Kota cenderung mengabaikan krisis iklim sebagai akar masalah.
Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Wahyu Eka Setyawan, mengatakan banjir adalah salah satu bentuk bahaya hidrometeorologi yang menunjukkan meningkatnya kerentanan suatu wilayah akibat perubahan iklim dan kerusakan ruang resapan air. “Fenomena ini bukan hanya persoalan alam, tetapi erat kaitannya dengan tata ruang yang buruk, alih fungsi kawasan hijau, minimnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan air, serta masalah teknis seperti pendangkalan sungai dan betonisasi jalur air,” kata Wahyu, Kamis (26/12/2024).
Dampak banjir ini, lanjut Wahyu, harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Kerusakan di wilayah hulu seperti Malang Raya akibat alih fungsi lahan, perubahan tata ruang di wilayah tengah untuk pertanian, industri, dan pertambangan. Semuanya berdampak langsung ke wilayah hilir seperti Surabaya.
“Banjir tidak bisa dilihat dari persoalan lokal, tetapi menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Timur,” katanya.
Wahyu menguraikan, banjir bukan persoalan yang bisa diselesaikan hanya dengan membangun gorong-gorong, selokan, atau rumah pompa. Penyelesaian jangka panjang diperlukan. Seperti penataan ulang tata ruang, revitalisasi sungai, hingga penghentian sementara izin pembangunan kawasan industri.
Walhi Jatim, sambung Wahyu, menuntut Pemerintah Provinsi Jatim segera berkoordinasi untuk merumuskan kebijakan menyeluruh yang menanggapi persoalan banjir dengan pendekatan berbasis tata ruang, dan perubahan iklim.
Kemudian, pemerintah kota/kabupaten di Jatim harus memprioritaskan penanganan banjir, baik jangka pendek maupun panjang, melalui penyusunan roadmap yang berfokus pada pemulihan ruang resapan air dan perlindungan kawasan tangkapan air.
“Pemerintah Kota Surabaya harus segera merumuskan kebijakan konkret untuk mengatasi dampak krisis iklim, termasuk banjir yang kerap terjadi,” ujar Wahyu.
Begitu pula dalam persoalan banjir di Malang. Walhi Jatim meminta Pemerintah Kota Malang membuat kebijakan yang jelas untuk menangani krisis iklim sebagai penyebab banjir.
Tak hanya itu, Walhi juga menuntut adanya ruang partisipasi publik dan transparansi informasi dalam proses perumusan kebijakan, agar kebijakan yang dibuat tidak asal-asalan.
Wahyu bilang, Walhi Jatim akan mengajukan gugatan kebijakan kepada pemangku kepentingan jika dalam 6 bulan ke depan tidak ada langkah konkret untuk menangani bencana akibat krisis iklim dan buruknya tata ruang.
“Krisis iklim membutuhkan tindakan nyata dan kebijakan berkelanjutan. Pemerintah harus bergerak cepat untuk melindungi masyarakat dan lingkungan,” katanya.