Suspa Memilih Menjaga Benih

Penulis : Kennial Laia

Biodiversity Warriors

Sabtu, 28 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Suspa Yusmita pada mulanya adalah ironi. Dia adalah orang Jambi asli, meski lahir di Palembang. Kampung halamannya di Kabupaten Kerinci. Namun, hingga dewasa, dia tak kenal Taman Nasional Kerinci Seblat. Padahal jaraknya dua jam saja berkendara dari rumah.

“Waktu di sekolah, aku cuma tahu Gunung Kerinci, tapi tidak tahu kalau dia bagian dari taman nasional. Guru juga tidak mengajari apa peran lingkungan buat kita,” kenang perempuan 25 tahun ini. 

Pengalaman ini mendorongnya untuk mengembangkan pendidikan plus pengetahuan tentang lingkungan. Dia mulai melakukannya pada 2020, setelah banyak terlibat dengan kegiatan bersama komunitas lingkungan, seperti World Clean Up Day, Walhi, dan Grand Student Movement saat berkuliah di Fakultas Pendidikan Biologi Universitas Jambi. 

Rata-rata muridnya duduk di bangku sekolah dasar yang tumbuh di wilayah perkotaan. Ini memang targetnya. Menurut Suspa, area urban seringkali terputus dengan isu lingkungan, yang seolah-olah hanya jadi urusan masyarakat adat dan pedesaan serta isu bagi kelompok tertentu saja. “Ada stigma bahwa masyarakat urban itu jauh dari isu lingkungan, hal ini yang ingin aku ubah,” katanya. 

Suspa Yusmita saat sedang menjalankan kelas dengan pendekatan STEAM, untuk edukasi tumbuhan dan lebah madu di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Dok. Suspa Yusmita

Kelompok umur yang diajarinya juga ideal, antara 6-12 tahun. Ini menjadi kesempatan emas baginya, karena ibarat tanaman, Suspa percaya “menjaga benih lebih baik dibandingkan harus merawat pohon yang sudah rusak.” 

Sejak 2022, proyek pribadi ini sudah ajeg. Ketika mengajar di sekolah ataupun homeschooling, dia selalu meyelipkan pengetahuan atau pertanyaan-pertanyaan yang menggugah rasa penasaran murid terkait lingkungan. Dia akan bertanya kepada anak-anak tentang Taman Nasional Kerinci Seblat hingga nama ilmiah sebuah tanaman–sesuatu yang tidak didapatkannya saat sekolah dahulu. 

“Memang edukasinya sederhana. Tetapi minimal anak-anak merasa sadar tentang lingkungan itu apa, dan kesadarannya perlahan tumbuh,” kata Suspa. 

Kesempatan untuk mengembangkan kegiatannya kian lebar ketika pada 2023, dia bergabung dengan Forest Guardian Jambi, organisasi underbouw Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) yang fokus pada advokasi dan kampanye hutan, terutama di Taman Nasional Kerinci Seblat, lanskap yang melalui empat provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Taman nasional ini juga menjadi rumah bagi sejumlah satwa kunci termasuk harimau sumatera dan gajah sumatera, serta satwa langka dan endemik seperti beruang madu dan tapir asia.  

Saat di Forest Guardian Jambi inilah dia pertama kali menginjakkan kaki di wilayah taman nasional, yang berada di Kecamatan Kayu Aro Barat. Dia ingat pada bulan Agustus, bersama rekan-rekannya, bertemu masyarakat dan melihat langsung alih fungsi lahan yang terjadi di area tersebut. “Saat kami ke sana memang banyak kawasan TNKS yang sudah dirambah menjadi kebun sayuran,” katanya. 

Suspa saat sedang mengajar edukasi ecoprint di SMP 6 Muaro Jambi. Dok. Suspa Yusmita 

Tekad Suspa untuk menggaungkan kepedulian terhadap taman nasional itu pun semakin kuat. Sepanjang 2023, dia menggelar serangkaian pendidikan konservasi bagi anak-anak di sekolah maupun komunitas di Kabupaten Kerinci maupun Kota Jambi. Di antaranya, edukasi ecoprint, sebuah teknik cetak yang memakai material alami dan ramah lingkungan. 

Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak, Suspa menggunakan pendekatan STEAM, yang mengombinasikan seni dengan subjek STEM (science, technology, engineering, and mathematics). Pendekatan ini membantu siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis, kreativitas, inovasi, dan keterampilan pemecahan masalah. Dari satu proyek ini Suspa diundang ke sekolah-sekolah. Total ada lima sekolah yang mengundangnya pada 2023. 

Suspa juga melakukan edukasi serupa dengan kelompok perempuan di Jambi, termasuk kelompok perempuan peduli mangrove dan ibu-ibu yang bekerja di kantor bea cukai Jambi. Lokakarya ini dia lakukan dengan komunitas lokal seperti Madunia dan Forest Guardian Jambi di desa-desa penyangga kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. 

Anak-anak dari kawasan penyangga TN Kerinci Seblat saat mengikuti kelas edukasi tumbuhan dan lebah madu. Dok. Suspa Yusmita

Seorang anak sedang memerhatikan hasil ecoprint di komunitas Rumah BacaKakita. Dok. Suspa Yusmita 

Pendidikan adalah gong 

“Adik-adik tahu mengapa sungai Batanghari berwarna cokelat?” 

“Asal air dari mana?” 

Dua kalimat itu adalah contoh dari pertanyaan yang sering dilemparkan Suspa kepada muridnya saat mengajar. Setelah rangkaian edukasi lingkungan pada 2023, dia fokus pada kegiatan belajar-mengajar yang diadakan di rumah atau homeschooling. Karena menyusun kurikulum sendiri, dia berinisiatif untuk menerapkan pendekatan STEAM dalam silabus. Dengan satu bahan tambahan: pengetahuan lingkungan. 

Saat mengajar, Suspa mengaku selalu menyelipkan sesi-sesi khusus seperti pembuatan herbarium, kelas fotografi di hutan kota, ataupun filtrasi air. “Jadi setiap kegiatan pembelajaran selalu dikaitkan dengan lingkungan sekitar mereka, dan arahnya nanti ke TN Kerinci Seblat,” jelasnya. Ia pun menyebutnya sebagai “kelas berkelanjutan”. 

Kelas STEAM herbarium. Dok. Suspa Yusmita 

Kelas STEAM fotografi di Jambi. Dok. Suspa Yusmita 

Di sisi lain, Suspa menyadari bahwa jalur yang dia tempuh saat ini bisa dibilang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan di lapangan. Namun baginya, pendidikan itu sama pentingnya dalam membangun kesadaran masyarakat tentang lingkungan maupun konservasi. “Proses belajar itu terjadi sepanjang hayat. Masalah lingkungan ini juga terkait dengan kesadaran dan pemahaman masyarakat, yang membuat kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.” 

“Jadi menurutku, pendidikan salah satu cara yang cukup efektif. Apalagi di era instan dan berkembang ini, masyarakat cenderung abai pada lingkungannya. Buatku pendidikan menyediakan solusi jangka panjang,” tuturnya. 

Hal yang sama berlaku bagi dirinya. September lalu, dia kembali ke bangku kuliah, untuk studi magister di Fakultas Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang. Namun dia berharap bisa menerapkan konsep yang dia kembangkan di Jambi di kota baru itu. “Mimpiku ya ini bisa dilakukan di mana saja, berkolaborasi dengan lebih banyak komunitas, dan gerakan pendidikan ini menjadi besar,” katanya.  

Lokakarya ecoprint di Kelompok Perempuan Taman Sari Mangrove Pangkal Babu Tanjung Jambung Barat, Jambi. Dok. Suspa Yusmita 

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id