Demi Cinta Arra kepada Orang Utan

Penulis : Kennial Laia

Biodiversity Warriors

Jumat, 27 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Arrayaana Artaka menengadah ke pepohonan rindang yang menjulang tinggi di depannya, di mana sebuah gumpalan bulu coklat bergantung di dahan. Sosok kecokelatan dengan rona jingga itu balik menatapnya, masih dengan satu tangan menggelantung di dahan. Meski dia senang beradu pandang dengan sosok itu, dia hanya diam. 

Hari itu Arra–nama panggilannya–sedang bertugas memonitor orang utan yang baru dilepasliarkan di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, Kecamatan Busang, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Bersama rekannya dari Centre for Orangutan Protection (COP), dia terus menjaga jarak dan sesekali mencatat perilaku satwa tersebut.  

Orang utan borneo (Pongo pygmaeus) yang bergelantungan itu bernama Cola, yang pulang ke Indonesia setelah proses repatriasi dari Khao Son Wildlife Breeding Centre di Thailand pada 2019. Cola adalah korban perdagangan satwa liar ilegal internasional. Sebelum dilepasliarkan, Cola lebih dulu melalui habituasi di pulau pra-pelepasliaran untuk beradaptasi dengan alam dan menemukan kembali sifat liarnya.  Cola, orang utan dengan sifat penasaran ini, telah terlalu lama berinteraksi dengan manusia.

“Saat pelepasliaran September lalu, Cola cenderung mengikuti kami. Pada malam terakhir, dia terlihat ingin menyerang, jadi kami buru-buru lari meninggalkan Cola,” kata Arra. 

Arrayaana Artaka, tim APE Guardian Centre for Orangutan Protection (COP), saat sedang melakukan monitoring pascapelepasliaran orang utan kalimantan di Hutan Lindung Batu Mesangat, Kalimantan Timur. Dok. COP

“Esoknya kami kembali melakukan monitoring, tetapi nggak ketemu,” tutur perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, 23 tahun silam ini. 

Sebelas hari kemudian, APE Guardian–tim yang bertanggungjawab untuk pelepasliaran dan monitoring satwa di COP–menerima laporan Cola ‘mampir’ di pondok warga. Tim pun kembali berangkat, lalu memindahkan Cola ke area yang lebih jauh. Tiga kali percobaan, Cola selalu kembali. Akhirnya tim memutuskan membius Cola dan membawanya ke rimba yang lebih dalam di Gunung Batu Mesangat, dengan menggunakan perahu.

Menurut Arra, hingga saat ini mereka belum pernah melihat Cola saat patroli. “Ini pertanda baik, karena artinya Cola aman di dalam hutan,” kata Arra.  

Begitulah keseharian Arra sejak bergabung di COP sejak Maret 2024 lalu. Perempuan ini merantau ke Borneo demi bekerja lebih dekat dengan orang utan, salah satu primata yang dia kagumi sejak di berkuliah di Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Malang. 

“Buatku, orang utan itu satwa yang unik, karena memiliki kekerabatan yang dekat dengan manusia,” katanya. Sebelumnya, Arra lebih dulu terlibat dengan pelestarian lutung jawa (Trachypithecus auratus), primata endemik pulau jawa, saat magang di The Aspinall Foundation, sebuah badan amal konservasi satwa internasional dari Inggris. 

Cola bergelantungan di dahan pohon. Dok. Centre for Orangutan Protection

Divisi APE Guardian COP terdiri dari satu kapten dan lima asisten lapangan, termasuk Arra. Tim ini bekerja erat dengan sejumlah masyarakat lokal yang direkrut menjadi penjaga hutan (ranger). Di tim ini, Arra adalah satu-satunya perempuan. Namun hal itu tidak menjadi beban baginya. Arra merasa nyaman saja keluar-masuk hutan dan tinggal di sana hingga dua minggu bersama rekan-rekannya.

“Cuma aku jadi harus sering meyakinkan kepada siapapun yang khawatir, khususnya orang tua, bahwa aku aman,” ujarnya. 

Bagi Arra, tempatnya bekerja saat ini adalah organisasi yang ramah perempuan. Sebanyak 75% dari tim medis, misalnya, merupakan dokter perempuan. Tercatat pada 2022, staf dan relawan perempuan di organisasi ini lebih dari 100 orang. Arra mengatakan, tidak ada perbedaan hak antara staf perempuan maupun laki-laki di Centre for Orangutan Protection.

“Di COP membuktikan bahwa perempuan bisa dapat pekerjaan yang sama layaknya seperti laki-laki. Meskipun tidak jarang orang berpikiran akan terjadi diskriminasi dan membukakan akses untuk pelecehan seksual, apalagi pekerjaan lapangan yang menuntut kita “live in” dalam waktu yang lama bersama mereka. Nyatanya, kami betul-betul sadar akan tugas dan peran masing-masing,” kata Arra. 

Tim medis bersama bayi orang utan di area rehabilitasi. Dok. Centre for Orangutan Protection

“Aku justru merasakan perlindungan dan toleransi atas keterbatasan fisik dan stamina yang kumiliki sebagai perempuan tanpa mematahkan usahaku untuk mengimbangi mereka. Pada akhirnya, aku adalah salah satu dari mereka,” kata Arra. 

Namun dia tidak menampik kalau keterwakilan perempuan dalam konservasi khususnya orangutan perlu ditingkatkan lagi. “Saya berharap setelah ini kami dapat mendampingi pemudi dan ibu-ibu di sekitar area di Busang untuk terlibat dalam kegiatan konservasi,” katanya. 

Dalam kegiatan konservasi orang utan ini, keluar masuk-hutan dan menyisir sungai menjadi bagian integral. Sebelum pelepasliaran, misalnya, tim APE Guardian akan lebih dulu masuk hutan untuk survei, membuka jalan, serta menyiapkan titik rilis dan area kemah. Begitu juga setelah orang utan diantar ke habitat barunya, tim terus melakukan patroli dan monitoring satwa. Semua itu untuk memastikan lokasi dan daya jelajah orang utan, serta meminimalisir kemungkinan konflik antara manusia dan orang utan. 

“Pelepasliaran itu proses jangka panjang, tidak semata soal melepas orang utan ke dalam hutan,” kata Arra. “Mereka bisa saja kembali ke pemukiman dan berinteraksi dengan manusia, seperti Cola. Ini jadi bagian dari tanggung jawab kami untuk mitigasi konflik,” katanya.  

Perjalanan tim penjaga hutan melalui jalur sungai menuju lokasi pelepasliaran orang utan. Dok. Centre for Orangutan Protection

Namun, konflik dengan manusia bukan satu-satunya yang mengancam keberadaan orang utan. Ada faktor lain yang sama lebih berbahaya: perburuan untuk diperdagangkan secara ilegal dan hilangnya habitat akibat diserobot perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar dan pertambangan. 

Selama lima dekade, eksploitasi alam telah menurunkan populasi orang utan kalimantan di alam liar. Saat ini jumlahnya diperkirakan tersisa 57.350 individu, turun 80% dari 288.500 dari 1973. Dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), orang utan kalimantan berstatus kritis atau Critically Endangered

Upaya konservasi orang utan banyak dilakukan oleh lembaga pemerhati satwa, termasuk COP. Sejak 2021, terdapat 25 individu orang utan yang dilepasliarkan oleh organisasi ini. Delapan berasal dari sekolah hutan di Bornean Orangutan Rescue Alliance atau BORA, dan 17 sisanya orang utan translokasi. Arra terlibat dalam pelepasliaran 11 individu satwa soliter tersebut. 

Tingkat kesulitan pelepasliarannya pun berbeda-beda. Menurut Arra, ini tergantung dengan kategorinya. Ada tipe translokasi, yakni orang utan liar tanpa luka yang tersesat ke pemukiman warga ataupun habitatnya rusak. Jenis ini biasanya langsung dikembalikan ke alam.

Devi, bayi orang utan yang diselamatkan pada 2021. Di tempat rehabilitasi, BORA, Devi membuat sarang di hammock. Dok. Centre for Orangutan Protection

Ada pula tipe orang utan reintroduksi, yaitu mereka yang telah lama berinteraksi dengan manusia, seperti menjadi peliharaan atau penghuni kebun binatang. Individu ini biasanya harus masuk ‘sekolah hutan’ dulu dan baru kembali ke alam liar jika sudah benar-benar siap hidup mandiri. 

“Orang utan reintroduksi itu lebih bandel. Ini yang jadi PR buat kami karena ingatan orang utan itu kuat. Jadi pasti mikirnya, ‘Oh, aku dulu disayang sama manusia.’ Jadi ada insting untuk selalu kembali ke pemukiman manusia,” kata Arra. 

Dalam kasus Cola, waktunya lama. Arra dan rekan-rekannya harus berkemah di hutan selama delapan hari untuk memastikan satwa itu tidak mengikuti jejak mereka. Ada pun orang utan bernama Michelle, yang dilepasliarkan pada hari yang sama di titik rilis berbeda, membutuhkan waktu sekitar enam hari. Michelle adalah orang utan betina dengan sejarah dipelihara warga sekitar dan berasal dari Kebun Raya Unmul, Samarinda.

“Untuk semua kasus, kami baru bisa keluar hutan setelah memastikan orang utan itu tidak terlihat lagi,” ujarnya.  

“Setelah pelepasliaran adalah waktu tersibuk. Kami melakukan post-release monitoring, untuk memastikan orang utan dapat hidup dan beradaptasi dengan baik di habitat barunya.” 

Arra (tengah, baju oranye) bersama tim APE Guardian Centre for Orangutan Protection. Dok. Centre for Orangutan Protection 

Arra mengatakan, pelepasliaran adalah pekerjaan jangka panjang. Banyak pihak yang terlibat, termasuk tim rescue yang melakukan asesmen konflik dengan masyarakat serta tim medis. 

Kesadaran masyarakat menjadi salah satu aspek penting dalam konservasi orang utan. Di Hutan Lindung Batu Mesangat, warga keluar-masuk ke area hutan untuk mencari ikan ataupun berladang. Maka, di sela-sela patroli dan pendataan biodiversitas, tim APE Guardian COP melakukan kampanye dan sosialisasi kepada warga. Di pondok-pondok ataupun ketika warga sedang berladang. 

“Saat bercakap-cakap dengan warga, tim meyelipkan pengetahuan. Misalnya, apa yang harus dilakukan saat bertemu dengan orang utan. Intinya, sebisa mungkin warga tidak mendekati orang utan,” kata Arra. 

“Karena kalau sudah dekat, bisa terjadi interaksi negatif, apalagi kalau itu orang utan reintroduksi. Opsi paling baik adalah membiarkan satwa. Tidak usah diberi makanan ataupun difoto,” ujarnya. Sosialisasi serupa juga dilakukan di sekolah tingkat dasar hingga menengah. 

Arra saat kunjungan sekolah untuk edukasi dan sosialisasi tentang orang utan. Dok. Centre for Orangutan Protection

Meski demikian, masih banyak tantangan dalam konservasi orang utan yang dihadapi para konservasionis, termasuk di COP. Salah satunya penambangan emas yang masif di sekitar area hutan lindung tersebut. 

“Ada yang menambang dengan perahu besar, dan ada juga yang yang menambang secara manual. Para penambang sering masuk ke arah area pelepasliaran, dan kami khawatir jika semakin banyak orang ke situ. Ini akan mengancam orang utan yang sudah dilepasliarkan di masa depan,” kata Arra.  

Bagi Arra, tantangan ini hanya bisa dijawab oleh kebijakan pemerintah dan kolaborasi semua pihak. Sementara itu Arra hanya ingin terus bekerja untuk mengantar orang utan yang tersesat maupun korban perburuan ke rumahnya dan menjadi satwa seutuhnya. Tak masalah jika pekerjaan itu menjauhkannya dari rumah lebih dari 1.400 kilometer. 

“Ini adalah pengalaman merantau terjauh buatku. Tetapi ini yang memang aku impikan,” kata Arra. “Kadang aku masih nggak percaya, menjadi bagian dari konservasi orang utan ini. Jadi setiap hari, aku ingin terus belajar, dari organisasi tempat aku bekerja maupun masyarakat lokal (ranger) di sini,” ujarnya.

Orang utan kalimantan keluar dari kandang saat pelepasliaran di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, Kalimantan Timur. Dok. Centre for Orangutan Protection

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id