Emisi Food Estate Merauke Tunda Target Iklim 10 Tahun

Penulis : Kennial Laia

Food Estate

Selasa, 10 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Target emisi nol bersih Indonesia berpotensi mundur lima hingga 10 tahun dari target awal pada 2050, akibat proyek lumbung pangan di Kabupaten Merauke, Tanah Papua. Pasalnya proyek yang membuka hutan hujan alam ini akan menghasilkan emisi sebesar 782,45 juta ton CO2 atau setara kerugian karbon Rp47,73 triliun, menurut sebuah analisis terbaru. 

Dalam laporan tersebut, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap, megaproyek seluas 2 juta hektare tersebut juga dapat memperparah kontribusi emisi karbon global Indonesia menjadi dua kali lipat, yakni dari 2-3% menjadi 3,96%-4,96%. 

Kebijakan pelepasan karbon skala besar ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap komitmen Indonesia dalam kerangka Perjanjian Paris, yakni mencapai batas kenaikan suhu 1.5 derajat Celcius. “Dengan asumsi kontribusi emisi karbon Indonesia meningkat hingga 2-3% akibat food estate di Merauke, kita berpotensi kehilangan waktu 5-10 tahun untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2050,” kata Media Wahyudi Askar, penulis utama dan Direktur Kebijakan Publik Celios, Senin, 9 Desember 2024. 

“Ini adalah lonceng peringatan bahwa kebijakan pembangunan besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dapat menjadi bumerang, tidak hanya berdampak negatif terhadap masyarakat asli Papua tetapi juga mempercepat krisis iklim global,” ujarnya. 

Program cetak sawah menjadi bagian dari megaproyek food estate Merauke di Papua Selatan. Dok. Celios

Media mengatakan, proyek ini juga dinilai bertentangan dengan upaya global dalam mengurangi emisi karbon. Dunia saat ini tengah berupaya menekan emisi untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C.

Indonesia memiliki target iklim, yang tercakup dalam dokumen iklim bernama Nationally Determined Contribution (NDC). Data termutakhir Indonesia berencana mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional. 

Juru kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Prayoga mengatakan, food estate menjadi pemicu deforestasi di Papua karena dibangun di atas hutan alam dan dilakukan dengan cara merusak hutan. Dalam periode 2022-2023 saja, kerusakan hutan di Papua Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 190.000 hektare. Luas ini setara tiga kali Jakarta. 

Food estate Merauke juga mengancam penghidupan Orang Asli Papua yang bergantung pada hutan. Proyek berbendera proyek strategis nasional (PSN)–termasuk cetak sawah baru seluas 1 juta hektare dan perkebunan tanaman tebu dan bioetanol–tersebar di 13 distrik dan seluruhnya berada di wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei. Diperkirakan lebih dari 50 ribu penduduk asli yang berdiam di 40 kampung dan dalam lokasi proyek akan terdampak oleh proyek ini. 

Masyarakat adat dan komunitas lokal juga telah menolak proyek ini sejak dimulai sekitar pertengahan tahun ini. “Segala macam jenis proyek termasuk food estate yang masuk ke Papua haruslah mendapatkan pengakuan dan persetujuan dari masyarakat adat Papua melalui Padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan),” kata Anggi. “Prinsip ini dapat menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan hak-hak masyarakat adat Papua tetap terpenuhi.” 

Ekonomi restoratif mencegah deforestasi dan lonjakan emisi

Saat ini, pembukaan lahan secara masif sudah mulai dilakukan di Papua Selatan. Laporan tersebut menyatakan, implikasi serius terhadap emisi karbon dan iklim harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk menyetop megaproyek pangan di Merauke. 

Sebaliknya, pemerintah harus mendorong pengembangan produk ekonomi restoratif yang memanfaatkan keanekaragaman hayati di Tanah Papua. Menurut Celios, pendekatan ini lebih berkelanjutan serta tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan peluang kerja hijau yang mendukung masyarakat lokal. 

“Dengan pendekatan ini, kontribusi emisi global Indonesia dapat ditekan menjadi hanya 1-2%, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai penyangga strategis penyerapan karbon global,” ujar Bhima. 

Media mengatakan, solusi berbasis restorasi lingkungan lebih sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan dan target iklim Indonesia. Selain itu model ekonomi restoratif juga memperkuat ketahanan pangan dari sumber yang berkelanjutan.

Media mengatakan, jika terus mengabaikan dampak lingkungan dalam pembangunan, Indonesia berisiko tidak hanya kehilangan reputasi global, tetapi juga mengalami kerugian ekonomi yang lebih besar dalam jangka panjang.

“Pemerintah perlu mengeksplorasi solusi ekonomi yang lebih berkelanjutan berbasis komunitas yang mampu memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan hutan dan ekosistem penting di kawasan tersebut,” kata Media. 

Selain digarap pemerintah, proyek lumbung pangan di Merauke juga melibatkan raksasa perkebunan seperti Martias Fangiono dan anaknya Wirastuty Fangiono yang menguasai First Resources Group dan/atau FAP Fangiono Agro Plantation (FAP) Agri Group, Martua Sitorus yang memiliki KPN Corp. Group; serta Jhonlin Group milik Haji Andi Syamsuddin Arsyad alias haji Isam.