Transisi Energi Jalan di Tempat Karena Lemahnya Komitmen Politik 

Penulis : Kennial Laia

Energi

Senin, 09 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Transisi energi di Indonesia dinilai berjalan di tempat akibat lemahnya komitmen politik dari pemerintah. Sebaliknya, bauran energi fosil meningkat di mana pasokan listrik dari pembangkit listrik (PLTU) batu bara mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir, meskipun pemerintah telah berjanji mengurangi emisi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. 

Hal tersebut diungkap dalam laporan terbaru dari organisasi think-tank, Institute for Essential Services Reform (IESR), yang diluncurkan Kamis, 5 Desember 2024. IESR menilai transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon. IESR mencatat bahwa keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dapat mengancam pencapaian target net zero emission (NZE) sebelum 2050, seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil. 

Keragu-raguan ini terlihat dari capaian bauran energi terbarukan sebesar 13,1%, meleset dari target 23% pada 2025. IESR mencatat, sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan yang harus dieksekusi 2021-2025 belum dilelang. 

Di sisi lain, UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dengan transisi energi sebagai salah satu tujuan utamanya, seakan dimentahkan Kebijakan Energi Nasional baru yang menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 serta target di 2045. 

Kampanye Greenpeace memproyeksikan pesan untuk transisi ke energi bersih di Pantai Melasti, Bali, 14 November 2022. Aksi tersebut bersamaan dengan digelarnya KTT G20 di bawah presidensi Indonesia. Dok Greenpeace

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung. 

Menurutnya, strategi pemerintah yang cenderung berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) belum matang, mahal dan berisiko, dibandingkan teknologi energi surya, dan angin, serta baterai atau penyimpan energi yang sudah tersedia di pasar dan harganya semakin kompetitif. 

Fabby mengatakan tahun 2025 menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang reformatif untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien. Pernyataan Presiden Subianto untuk mengakhiri PLTU batu bara pada 2040, dan mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang menjadi sinyal positif. 

“Misi ini bukan hal yang mustahil jika dilengkapi dengan upaya melakukan reformasi kebijakan, regulasi besar-besaran dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terpadu, sehingga dapat memastikan ketahanan energinya dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8%, seperti dicita-citakan Pemerintahan Presiden Prabowo,” kata Fabby dalam peluncuran Indonesian Energy Transition Outlook, Kamis, 5 Desember 2024. 

Manajer Riset IESR Raditya Wiranegara, yang juga menjadi penulis IETO 2025, mengatakan semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi penggunaan batu bara, liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak. Di sektor ketenagalistrikan, 81% berasal dari energi fosil pada 2023. 

Tidak hanya itu, kapasitas PLTU captive (di luar wilayah usaha PLN) berkembang menjadi 21 GW di 2023. Peningkatan ini berkontribusi pada naiknya emisi sebesar 27% pada tahun yang sama. Di sisi lain, 87% rumah tangga menggunakan LPG yang disubsidi, dengan total subsidi mencapai Rp 83 triliun pada kuartal keempat 2024. Sementara itu kontribusi energi terbarukan sangat kecil. Di sektor industri, misalnya, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52% dari total energi yang digunakan.

“Pemerintah perlu progresif mengurangi bertahap subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidinya ke sektor energi terbarukan,” kata Raditya. 

“Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo tentang pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 harus segera direalisasikan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, alih-alih melengkapi PLTU dengan teknologi CCS/CCUS,” katanya. 

“Dari analisis kami, pensiun dini PLTU Cirebon-1, misalnya, akan membutuhkan biaya pengurangan karbonnya sekitar USD 31-40/tCO2e, lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai USD 62-324/tCO2e. Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula meningkatkan pengawasan PLTU captive dan mendorong industri beralih ke energi terbarukan,” jelas Raditya.

Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan, dan Perubahan Iklim IESR, Anindita Hapsari,  mengatakan pemerintah harus merancang pendekatan yang terencana dan bertahap dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk mendukung transisi energi Indonesia. Anindita menekankan pada strategi jangka pendek untuk menangani isu yang mendesak, dan jangka panjang untuk membangun fondasi sistem energi rendah karbon yang berkelanjutan dan selaras Persetujuan Paris.