Kasus PLTU Hyundai: Di Korea Maju, di KPK Jalan di Tempat

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Jumat, 29 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mendesak KPK untuk menuntaskan kasus suap izin PLTU Cirebon 2 dan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon 2011 – 2031. Kasus ini belum juga lunas karena proses hukum terhadap General Manager (GM) Hyundai Engineering and Construction, Herry Jung, masih berlangsung, meski Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra, sudah dibui.

Desakan ini disampaikan dalam demonstrasi yang digelar di KPK, Jakarta, pada Kamis (28/11/2024). Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, Siti Hannah Alaydrus, menyebutkan Herry Jung telah ditetapkan sebagai tersangka sebagai penyuap sejak 15 November 2019. 

Jung diduga menyuap Sunjaya Purwadisastra dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 24 Oktober 2018. Namun proses untuk Jung tak berjalan sama sekali.

“Sejak penetapan tersangka sampai hari ini perkara tersebut tidak banyak kemajuan,” ucap dia melalui rilis pers yang diterima pada Kamis (28/11/2024).

Walhi menggelar demonstrasi mendesak penuntasan keterlibatan Hyundai di Suap PLTU Cirebon di KPK pada Kamis (28/11/2024). Foto: Walhi.

Padahal di Korea Selatan sendiri, kasus dugaan suap ini ditindaklanjuti. Pada Rabu, 6 November 2024 dikabarkan, Kejaksaan Korsel menggeledah Hyundai Engineering & Construction, untuk menyelidiki dugaan suap eks Bupati Cirebon. Media lokal Korsel, Korea JoongAng Daily, melaporkan bahwa pada Rabu pagi waktu setempat, Kantor Kejaksaan Distrik Pusat Seoul, mengirimkan jaksa dan penyelidik ke kantor pusat Hyundai Engineering & Construction untuk mengamankan dokumen dan data komputer terkait dugaan kasus suap tersebut.

Baru-baru ini, Departemen Investigasi Kejahatan Internasional dari Kantor Kejaksaan Distrik Pusat Seoul fokus mengungkap perusahaan-perusahaan dalam negeri yang menyuap pejabat pemerintah daerah selama ekspansi mereka di luar negeri.

Menurut Siti, KPK mesti turut serta untuk segera mengambil tindakan yang tepat dan cepat dengan menginvestigasi kembali  semua pihak yang terlibat dalam kasus suap itu. 

“KPK harus mengusut tuntas semua pihak penyuap yang terlibat dan semua pejabat publik yang terlibat tidak hanya Bupati, tapi juga jajaran pemerintah, pihak kecamatan, dan pihak swasta,” kata dia. 

Kemudian, kata dia, penyelidikan atas penetapan status tersangka General Manager (GM) Hyundai Herry Jung oleh KPK pada 15 November 2019 harus dilanjutkan.

Sunjaya sendiri sudah dijatuhi vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Tipikor Bandung pada 18 Agustus 2023. Bahkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah memperberat hukuman menjadi 9 tahun penjara pada Oktober 2023. 

Kasus ini bermula ketika KPK menangkap Sunjaya dan mengamankan barang bukti uang tunai Rp 116 juta dan bukti setoran ke rekening total Rp 6,4 miliar. Herry Jung diduga memberi suap sebesar Rp6,4 miliar kepada Sunjaya terkait dengan perizinan PT Cirebon Energi Prasarana PLTU 2 di Kabupaten Cirebon dari janji awal Rp10 miliar.

Pemberian uang dilakukan dengan cara membuat Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif kepada PT MIM (Milades Indah Mandiri). Hal tersebut dilakukan supaya seolah-olah ada pekerjaan jasa konsultasi pekerjaan PLTU 2 dengan kontrak senilai Rp10 miliar. Angka 10 miliar rupiah terbit setelah negosiasi yang awalnya diminta oleh Sunjaya untuk mengamankan demo sebanyak 20 miliar rupiah.

Kasus korupsi ini juga terkait suap pembuatan proses izin PLTU Cirebon 2 dan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon 2011 – 2031. Izin untuk proyek PLTU 2 bertabrakan dengan regulasi di Pasal 19 ayat 4 huruf a Perda No 17 Tahun 2011 tentang Tata Ruang Wilayah Cirebon. Sebab, wilayah yang diizinkan untuk proyek PLTU hanya berada di Kecamatan Astanajapura.

Pasca Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi Nomor: 503/0129.02/BPPT tanggal 01 Maret 2017 dan bukti Perpanjangan Izin Lokasi Nomor: 503/0133.03/ DPMPTSP tanggal 13 Maret 2017, Herry Jung diduga memberikan uang terima kasih sejumlah 50 juta rupiah kepada saksi Dede Sudiono dan Muhadi di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sudah banyak memberi petaka. Secara tidak langsung itu menjadi salah satu penyebab krisis iklim yang berujung bencana. Sebagai dampak lepasan emisi yang terus menerus dari cerobong asap PLTU, kemudian menumpuk di lapisan atmosfer sehingga membuat suhu bumi beranjak naik dan berakumulasi menjadi pemanasan global.

Sedari awal rencana pembangunan PLTU batu bara sudah memunculkan derita bagi warga. Itu terakumulasi setelah beroperasi, karena proyek PLTU batu bara kerap dibangun di lahan produktif dan kawasan alami. Pembangkit listrik energi fosil tak hanya menjadi ancaman bagi planet karena mengakselerasi perubahan iklim, tapi juga bagi manusia yang terpapar oleh polusi dan limbah hasil pembakaran batubara.

Tak hanya menurunkan kualitas kesehatan, degradasi lingkungan yang ditimbulkan dalam bentuk hilangnya keanekaragaman hayati serta pencemaran tanah, air, udara di sekitar PLTU pada akhirnya juga mengancam penghidupan petani, nelayan, dan petambak garam yang menggantungkan hidupnya pada alam. Merampas mata pencaharian dan akar budaya warga. Kedaulatan wilayah tangkap nelayan tradisional semakin sempit sehingga berkurangnya hasil tangkapan, pun hilangnya wilayah garap tani dan berujung kemiskinan.

Sama halnya yang terjadi di Cirebon, Jawa Barat. PLTU Cirebon 1 resmi beroperasi pada tahun 2012. Lima tahun setelah itu, malah dimulai pembangunan PLTU Cirebon 2 berkapasitas 1.000 MW yang merupakan ekspansi dari PLTU 1. 

Koordinator Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon, Adhinda Maharani, menyebutkan upaya suap ini untuk memaksakan pembangunan PLTU Cirebon II di tengah oversupply energi di jaringan Jawa Bali. Menurutnya kejahatan yang dilakukan bukan sekedar korupsi, melainkan juga kejahatan iklim.

“Orang yang tidak menyebabkan perubahan iklim sering kali mengalami dampak terburuk dan tercermin dalam sistem hukum terkait perubahan iklim seperti petani kecil, nelayan, dan masyarakat adat seringkali menjadi yang paling terdampak,” kata dia.