Koalisi Masyarakat Desak Percepatan RUU Masyarakat Adat
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Adat
Sabtu, 23 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID -Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Ketertundaan RUU ini selama 14 tahun mengakibatkan banyak masyarakat adat kena kriminalisasi.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU ini untuk menunjukkan keberpihakan nyata terhadap masyarakat adat. Menurutnya DPR tinggal melanjutkan pembahasan karena sebelumnya sudah masuk tahap harmonisasi.
“Prolegnas yang diusulkan DPR dan DPD RI menjadi awal dari komitmen konkret untuk segera mengesahkan RUU yang sangat dinanti oleh jutaan masyarakat adat di seluruh penjuru negeri. Kami berharap delapan Fraksi Partai Politik di DPR RI segera membahasnya pada tahun 2025,” ucap Kasmita melalui rilis pers.
Koalisi ini merupakan gabungan dari 35 organisasi masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Kaoem Telapak, Yayasan Pusaka Bentala, dan lainnya.
Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, menyebutkan ketiadaan payung hukum bagi masyarakat adat telah menciptakan ketidakadilan. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat semakin masif, dengan banyak kasus penangkapan hanya karena mereka berusaha mempertahankan tanah ulayat atau menjalankan hukum adat.
Di sisi lain, tanah ulayat yang menjadi sumber kehidupan berbasis adat terus dirampas demi proyek-proyek besar tanpa persetujuan atau konsultasi yang layak, mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat.
Angka kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat cukup tinggi, di antaranya O Hongana Manyawa dari Maluku Utara, Masyarakat Adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai di Nusa Tenggara Timur, Masyarakat Adat Nangahale dari Kabupaten Sikka di NTT, Masyarakat Adat dari Dolok Parmonangan Sihaporas di Tano Batak Sumatera Utara, masyarakat adat di sekitar pembangunan Ibu Kota Nusantara, serta masyarakat adat di Papua.
“Juga di Jawa hingga saat ini masih mengalami pergulatan dengan adanya ancaman pengkriminalisasian secara struktural,” kata Syamsul.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menyebutkan di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, masyarakat adat juga menghadapi ancaman baru. Komitmen global yang mengedepankan solusi palsu iklim menjadi petaka bagi mereka.
“Atas nama iklim, proyek-proyek ‘hijau’ menjadi alat perampasan wilayah adat dan kriminalisasi. Perdagangan karbon, teknikalisasi karbon, transisi energi hanya terus memperpanjang krisis sembari menjadikan wilayah adat sebagai komoditas yang layak untuk dijadikan objek bisnis. Sehingga yang dibutuhkan adalah kebijakan yang melindungi Masyarakat Adat, wilayahnya bahkan pengetahuannya serta praktik tradisional nya dalam melindungi bumi," kata dia.
Kriminalisasi masyarakat adat, menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, berakar pada sikap aparat hukum mengedepankan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta produk regulasi turunannya justru mengancam eksistensi lembaga musyawarah adat dan hukum adat yang telah menjadi inti dari keberlanjutan komunitas adat.
“Regulasi ini bukan hanya melemahkan kelembagaan adat, tetapi juga membuka ruang bagi penghapusan nilai-nilai yang telah terjaga selama ratusan tahun,” kata Muhamad Isnur.
Makanya RUU Masyarakat Adat adalah peluang untuk memperbaiki ketidakadilan ini. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR agar segera memenuhi janjinya untuk mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang pada tahun 2025.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, mengungkapkan pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekedar tugas legislasi, melainkan komitmen moral sekaligus kewajiban Negara menghentikan segala bentuk ketidakadilan yang dialami Masyarakat Adat selama puluhan tahun. Dalam konteks kriminalisasi, konflik lahan, krisis iklim dan perlindungan Masyarakat Adat sebagai penjaga keanekaragaman terbaik.
“DPR RI harus segera membuktikan keberpihakannya melalui langkah nyata demi keadilan, hak asasi manusia dan keberlanjutan hidup Masyarakat Adat di Indonesia,” kata dia.
DPR harus memahami bahwa pengesahan RUU ini bukan hanya soal menunaikan tugas legislasi, tetapi juga soal menegakkan keadilan bagi Masyarakat Adat yang selama ini terpinggirkan. Dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, DPR juga dapat membuktikan komitmen Indonesia dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan iklim di mata dunia.