Reinkarnasi Yoel di Hutan Long Sam

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversity Warriors

Jumat, 20 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Waktu sudah menunjukkan pukul 07.50 WITA, ketika Yoel merapikan sapu, sikat lantai, dan alat kebersihan lainnya, lalu beranjak keluar dari kandang, tempat tinggal sementara beberapa jenis satwa dilindungi. Di sana ada owa (Hylobates albibarbis), beruang madu (Helarctos malayanus), dan rangkong badak (Buceros rhinoceros). 

Tapi masih ada pekerjaan lain di kandang itu setelah ia membersihkan kotoran dan sisa makanan satwa. Karena itu, lelaki yang genap berusia 21 tahun pada 13 November 2024 lalu, kembali masuk ke kandang. Kali ini tangan kirinya menjinjing keranjang berisi beragam buah-buahan. "Sudah waktunya kasih makan," kata Yoel Yosua, Senin (22/10/2024).

Usai memberi makan, tugas Yoel yang lain sudah menunggu. Ada 3 owa yang harus ia beri susu dan disuapi bubur. "Mereka masih bayi, belum bisa makan sendiri," ujarnya.

Yoel Yosua--ini nama lengkapnya--sudah menjadi perawat satwa sejak 2021, semenjak putus sekolah di bangku kelas 10 SMA, karena pandemi Covid-19 dan ketiadaan biaya. Awalnya ia bekerja serabutan, sebelum menjadi perawat satwa di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Long Sam, yang dikelola oleh organisasi masyarakat sipil Conservation Action Network (CAN).

Di usianya yang menginjak angka 21 tahun, Yoel mendedikasikan dirinya menjadi perawat satwa di PPS Long Sam, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Foto: CAN.

Menurut penuturan Yoel, saat putus sekolah, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya mencari uang. Itulah mengapa ia sempat bekerja sebagai buruh kasar, seperti pencari kayu hingga tukang angkut kayu. "Saya bisa kerja di PPS ini pun awalnya ya karena mencarikan kayu buat bikin bangunan di sini. Terus diajak kerja."

PPS Long Sam terletak di Desa Merasa, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (Kaltim). Untuk menjangkau desa ini, dibutuhkan waktu sekitar 3,5 jam perjalanan darat dari Berau. Adapun untuk mencapai PPS Long Sam, membutuhkan waktu sekitar 4 jam perjalanan sungai dari Kampung Merasa, menggunakan perahu ketinting. Jauh dari pemukiman warga.

PPS Long Sam luasnya sekitar 45 hektare, dengan status lahan adalah areal penggunaan lain (APL). Lahan ini sebagian besar bertutupan hutan lebat, dengan hanya menyisakan lahan seluas 5 hektare untuk fasilitas perawatan dan kamp.

Pemilihan lokasi PPS yang jauh dari pemukiman warga ini ada alasan tersendiri. "Sebagai fasilitas perawatan satwa, ya tentunya harus jauh dari interaksi dan gangguan aktivitas manusia," kata Paulinus Kristanto, Direktur CAN.

Yoel berfoto dengan latar belakang plang nama PPS Long Sam. Ia bekerja sebagai perawat satwa di kedalaman hutan Kalimantan Timur. Foto: CAN.

Menjadi penyelamat dan perawat satwa, kata Yoel, bukan cita-citanya. Bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Soalnya, sebagian masa remajanya justru ia habiskan sebagai pemburu satwa. "Sebelum kerja di sini saya sering berburu. Ya untuk dijual, atau untuk dimakan. Termasuk owa," kata dia.

Kini, setiap kali mengingat masa lalu, ketika menjadi pemburu, "Saya menyesalinya," ujar Yoel. 

Menurut Yoel, hingga saat ini masih ada beberapa kawan dan masyarakat sekitar yang masih melakukan perburuan satwa liar. Ia tidak bisa melakukan banyak hal untuk mencegah perburuan satwa liar itu. Yang ia bisa hanya memberikan pemahaman kepada kawan-kawannya, mengenai satwa liar mana saja yang statusnya dilindungi dan langka. "Kalau mereka berburu babi hutan misalnya, ya tidak apa-apa," ujarnya.

Yoel bersama kawan-kawannya perawat satwa berfoto di depan kandang satwa di PPS Long Sam, di Desa Merasa, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Foto: CAN.

Pemuda dayak kelahiran Tanjung Selor, Kalimantan Utara itu mengatakan, jumlah satwa yang dirawat lama di PPS Long Sam tidak banyak. "Kebanyakan satwa hanya sebentar saja dirawat di sini. Kalau dia tidak sakit, usianya dewasa, masih ada sifat liarnya, sebisa mungkin segera dilepasliarkan."

Saat itu, di PPS Long Sam pun hanya ada 7 owa, 3 beruang, dan 1 rangkong. Mereka semua adalah hasil sitaan yang dititipkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur (Kaltim), Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Berau di PPS Long Sam. Tapi, yang sedikit ini masalahnya banyak.

Satwa-satwa itu masih dalam persiapan sebelum dilepasliarkan, karena beberapa di antaranya diterima PPS Long Sam dalam kondisi tidak siap untuk langsung dilepasliarkan. Owa contohnya, ada 3 individu dewasa yang kondisinya sakit.

Penyakitnya terbilang tidak ringan, yakni Hepatitis B. "Jadi tidak bisa kita lepas-liarkan. Karena takutnya akan menulari satwa lainnya di alam," katanya. 

Sementara 4 owa lainnya masih terlalu muda, dan 3 di antaranya terbilang masih bayi. Yoel terlibat aktif merawat bayi-bayi owa itu sudah beberapa bulan. Saking dekatnya dengan bayi-bayi owa ini, Yoel bahkan punya nama untuk mereka, yakni Caca, Cici, dan Novi.

Yoel mengatakan, sebagai perawat satwa di PPS Long Sam, tugasnya tidak sekadar membersihkan kandang dan memberi makan saja. Tiap hari, setelah bayi-bayi owa atau beruang itu kenyang, mereka akan diajari memanjat pohon. "Nanti kita tunggui. Kalau dia enggak bisa turun sendiri, ya kita ambil, kita panjat pohonnya," ujarnya.

Interaksi itu, mau tak mau, menumbuhkan kedekatan. Misalnya, ia mengaku sudah merasa sayang yang mendalam terhadap bayi-bayi owa dan beruang yang dirawatnya. Tapi, menurutnya, ia lebih senang bila satwa dilindungi itu bisa hidup bebas dan mandiri di alam. "Dengan catatan hutannya ideal dan bebas ancaman untuk mereka. Makanya sebagian besar satwa-satwa itu kita lepasnya di hutan lindung yang cenderung aman," ucapnya.

Dokter hewan sedang melakukan pengecekan pada salah satu owa yang dirawat di PPS Long Sam. Foto: CAN

Di sela kegiatannya merawat satwa, Yoel sering juga dilibatkan dalam melakukan penyelamatan (rescue) dan pelepasliaran satwa bersama BKSDA Kaltim. Tentu saja baginya itu menyenangkan, karena ia bisa mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih soal penanganan satwa.

Menurut Yoel, awalnya ia juga punya ketakutan saat berinteraksi dengan satwa liar, terutama saat melakukan rescue. Ia takut digigit. "Dan beneran pernah digigit owa akhirnya," ujar dia sembari tertawa. "Tapi sekarang sudah enggak takut lagi. Sudah tahu cara menangani satwa saat rescue itu bagaimana," ucapnya.

"Kalau orangutan, yang berbahaya itu cengkraman tangannya. Kalau kita dipegangnya, susah lepasnya. Kuat sekali cengkramannya," kata Yoel, berbagi pengalamannya berinteraksi dengan orangutan.

Harapan Masa Depan

Paulinus Kristanto mengatakan, ia berharap banyak pada anak-anak muda seperti Yoel. Walau latar belakang pengetahuan tentang konservasi minim, ujarnya, ia yakin kemauan belajar yang besar dan sabar bisa mengantarkan anak-anak muda seperti Yoel ke kedalaman makna konservasi. "Bagi saya makna konservasi yang lebih dalam dan penting itu adalah regenerasi. Nah kami berharap para pemuda, seperti Yoel ini bisa belajar banyak tentang konservasi," kata Linus. Tak hanya sebatas mengenai satwa saja, imbuh Linus, tapi juga tentang habitat, ekologi, bentang alam, dan lainnya.

Salah satu beruang madu yang berada di PPS Long Sam. Foto: CAN.

Linus menilai, sejak bergabung dengan CAN sampai sekarang, Yoel sudah banyak belajar tentang penanganan satwa. Baik tentang rescue (penyelamatan) satwa saat mengalami interaksi negatif dengan manusia, merawat satwa, sampai dengan penanganan pelepasliaran satwa. "Dia sudah bagus untuk ukuran anak muda yang datang tanpa latar belakang pengetahuan konservasi apa-apa," ujarnya.

Kunci keberhasilan itu ada pada Yoel. Ia punya keinginan untuk belajar lebih tentang konservasi. Sebab, masih banyak peran yang bisa ia ambil di masa depan. Tak melulu soal penanganan satwa. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan satwa, hingga dinamika perlindungan hutan yang menjadi habitat satwa, menurutnya, juga penting untuk dipelajari dan dipahami. "Ingin sih jadi seperti Bang Linus. Ingin belajar banyak," katanya.

Kunci lainnya adalah karena di CAN, Yoel bisa belajar banyak. Menurut Yoel, program kegiatan CAN bukan hanya sebatas perawatan satwa, tapi juga pembangunan ekonomi masyarakat melalui pertanian, pemulihan lahan kritis bekas tambang, perlindungan hutan, dan membangun ekosistem tempat satwa dapat hidup dengan aman. "Selain itu, CAN juga mengembangkan model lanskap yang mencakup koridor satwa liar, yang memungkinkan mereka bergerak dengan aman dan bebas dari ancaman konflik," ujar Yoel. "Dan anak muda seperti saya punya tempat di PPS Long Sam."

Yoel saat memberi makan satwa liar yang dirawat di PPS Long Sam. Foto: CAN.

Yoel paham, bahwa kehidupan satwa liar saat ini menghadapi tantangan serius akibat persaingan ruang hidup dengan berbagai aktivitas industri. Banyak satwa yang terpaksa masuk ke wilayah-wilayah pemukiman dan perkebunan akibat berkurangnya habitat alami mereka, yang menyebabkan meningkatnya potensi konflik antara manusia dan satwa. Karena itu, menurutnya, PPS Long Sam dibutuhkan keberadaannya di Berau. 

Yoel dan kawan-kawannya di CAN percaya, bahwa solusi yang efektif untuk perlindungan satwa liar memerlukan kolaborasi multi-pihak, mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga masyarakat lokal. Sehingga, dengan melibatkan banyak pihak maka lingkungan yang harmonis bisa tercipta, di mana manusia dan satwa dapat berbagi ruang hidup secara berkelanjutan. "Dengan mengurangi konflik dan melindungi habitat, kita tidak hanya menyelamatkan satwa, tetapi juga menjaga keseimbangan alam yang penting bagi keberlanjutan kehidupan di Bumi," kata Yoel.*/**

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id