Wabah Flu Burung Mengintai Harimau Sumatra
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Satwa
Rabu, 30 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ancaman terhadap kelestarian harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) semakin kompleks. Setelah kehilangan habitat dan perburuan liar, kini muncul ancaman baru yang tak kalah serius, yakni penyebaran virus flu burung. Kasus kematian massal harimau di Vietnam akibat virus ini menjadi alarm bagi Indonesia.
Tercatat, sebanyak 47 harimau, 3 ekor singa, dan seekor macan tutul dilaporkan tewas akibat virus flu burung H5N1 tipe A di Taman Safari My Quynh di Provinsi Long An dan Kebun Binatang Vuon Xoai in Dong Nai, Vietnam Selatan. Penyebaran virus ini ke harimau disebabkan karena pemberian ayam yang telah terinfeksi virus flu burung. H5N1 adalah jenis flu burung yang paling mematikan dan memiliki sejarah di wabah seluruh dunia.
Meskipun belum terdapat laporan lain di luar Vietnam, namun beberapa ahli berpendapat bahwa penyebaran virus ini tinggal menunggu waktu. Mengingat virus flu burung sudah ada di Indonesia sejak lama dan terus bermutasi. Virus ini menyebar sangat cepat melalui air liur, lendir, dan kotoran satwa yang terinfeksi. Perlu menjadi pertimbangan bahwa manusia dapat terjangkit virus ini, dan sebaliknya manusia juga dapat menularkan virus ini kepada unggas.
"Situasi ini sangat memprihatinkan. Kita harus bertindak cepat untuk mencegah kejadian serupa terjadi di Indonesia,” kata Iding A. Haidir, Ketua Forum HarimauKita, Kamis (24/10/2024).
Menurut Iding, ada beberapa faktor yang membuat harimau sumatra rentan terhadap flu burung. Pertama, habitat harimau yang semakin terfragmentasi membuat mereka lebih mudah terpapar penyakit. Kedua, kontak antara harimau dengan unggas domestik yang terinfeksi juga meningkatkan risiko penularan.
Standby di jalur flyaway
Iding melanjutkan, musim migrasi burung menjadi salah satu periode kritis. Ribuan burung migran dari belahan bumi utara singgah di Indonesia setiap tahunnya. Jika di antara burung-burung migran ini ada yang terinfeksi flu burung, maka potensi penularan ke satwa liar lainnya, termasuk harimau, akan sangat besar.
Indonesia, imbuhnya, pernah mengalami sejarah kelam dengan burung migran. Akhir 1980-an, terjadi perburuan burung migran secara besar-besaran di sekitar pantai utara Jawa. Lebih dari 300.000 burung air migran ditangkap dan diperdagangkan untuk konsumsi masyarakat. Peristiwa ini menunjukkan betapa rentannya populasi burung migran terhadap eksploitasi manusia dan bagaimana hal ini dapat berdampak pada ekosistem secara keseluruhan.
"Indonesia merupakan jalur migrasi burung yang penting. Kita perlu meningkatkan surveillance di daerah-daerah yang menjadi jalur migrasi, terutama saat musim migrasi tiba. Kasus African Swine Fever (ASF) yang pernah terjadi menunjukkan betapa pentingnya pengawasan dan pentingnya pencegahan terhadap penyakit menular satwa liar," ujarnya.
Untuk mencegah penyebaran flu burung pada harimau sumatra, Iding mengimbau, agar pengelola semua kebun binatang dan penangkaran meniadakan pemberian makan unggas hidup pada harimau tanpa mengetahui kondisi kesehatan unggas tersebut.
“Melakukan pemantauan kesehatan satwa secara rutin, terutama di kawasan konservasi dan habitat harimau. Hendaknya dilakukan surveilans awal secara intensif pada lanskap yang menjadi jalur migrasi burung. Perlu dilakukan pemantauan terus-menerus terhadap pergerakan burung migran,“ ucap Iding.
Selain itu yang tidak kalah penting dalam pencegahan flu burung dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya flu burung dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
"Penyebaran flu burung bukan hanya ancaman bagi harimau sumatra, tetapi juga bagi keanekaragaman hayati Indonesia secara keseluruhan. Upaya pencegahan sangat disarankan, mengingat potensi virus ini dapat menyebabkan kepunahan sejumlah spesies satwa liar lainnya dan tentu juga manusia," katanya.