Perempuan Sagea x PT IWIP: Melawan dengan Sekolah Pesisir
Penulis : Kelakai, MALUKU UTARA
Tambang
Minggu, 27 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komunitas Perempuan Pesisir Halmahera menggelar diskusi dan pameran foto "Perampasan Ruang Hidup" di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, pada Sabtu malam, 26 Oktober 2024. Kegiatan yang dilaksanakan di Kedai Woekla itu juga memperkenalkan Sekolah Perempuan Pesisir Halmahera.
Diskusi ini merupakan kolaborasi Komunitas Perempuan Pesisir Halmahera dengan Save Sagea, Jurnalis Rakyat Tempo Witness Maluku Utara, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, Walhi Maluku Utara, dan Fakawele.
Menurut Koordinator Perempuan Pesisir Halmahera, Rifya Rusdi, diskusi dan pameran foto dimaksudkan untuk mengingatkan soal pentingnya menjaga ruang hidup sebagai satu kesatuan antara manusia sebagai makhluk hidup dengan alam. Soal ini kian penting di Sagea dan Halmahera Tengah dalam beberapa tahun belakangan, karena terjadinya kerusakan lingkungan itu sangat mempengaruhi perempuan dan anak-anak. Misalnya, Sungai Sagea, yang akrab dengan kegiatan perempuan dan anak-anak tak biasanya menjadi sangat keruh. Keruhnya sungai ini akibat eksploitasi kawasan hutan di hulu sungai oleh aktivitas pertambangan.
Diskusi ini menghadirkan Nofiyanti Anwar, anggota DPRD Halmahera Tengah yang berasal dari Sagea. Adapula Adhar dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara dan Mardani Muslim dari Save Sagea.
Menurut Nofiyanti Anwar kehadiran perkumpulan perempuan pesisir seperti sekolah perempuan perlu didorong sehingga para perempuan di sekitar tambang bisa berkolaborasi untuk menyuarakan isu-isu tentang perempuan. Dalam kasus pencemaran Sungai Sagea, ujarnya, pencemaran ini sangat berdampak pada kerja-kerja rumah tangga. "Selama ini aktivitas pertambangan kerap mengabaikan dampaknya pada perempuan. Sementara itu pekerjaan domestik sering dilakukan oleh perempuan. Semua hal dilakukan perempuan," ujarnya.
Karena itu, kata dia, perempuan adalah keberlanjutan itu sendiri. "Kalau perempuan tidak menyuarakan hak-haknya, maka kita akan hidup dalam kemerosotan dan kemiskinan," katanya.
Sementara itu, Adhar menyampaikan persoalan lingkungan sangat dekat dengan kehidupan kita dan sangat vital. Isu lingkungan juga menjadi isu global. Negara-negara sedang fokus menyelesaikan masalah perubahan iklim dengan mendorong nol emisi.
Akan tetapi, kata Adhar, di Halmahera Tengah, semua itu terlihat dinafikan. "Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti IWIP yang katanya mendorong perekonomian di daerah justru memberikan beban dampak kerusakan ekologis yang sangat merusak sumber-sumber yang kita sebut sebagai ruang hidup itu," kata dia.
Bahkan, dia melanjutkan, data Walhi menunjukkan sungai-sungai dan pesisisr yang dekat dengan kawan Industri PT IWIP suda terkontaminasi logam berat. Sudah tercemar.
Air di Sungai Sagea tampak merah kecoklatan. Foto: Save Sagea
Mardani Muslim menyampaikan, perampasan ruang hidup ini seakan menjadi tren di dunia pertambangan, bahkan persoalan seperti ini hampir sama di mana tempat yang ada tambangnya. "Jadi, menjadi warga negara di negara ini sama situasinya. Perampasan ruang hidup itu menghantui warga terutama sumber penghidupan mereka," kata dia.
Karena itu, menurutnya, PSN hanya berdampak pada sekelompok masyarakat yang menggerakkan negara ini, yakni Oligarki, sehingga suara-suara protes dari warga dianggap sebagai penganggu proyek nasional. "Dan di situ juga aparat paling depan menghalangi protes warga," kata dia.
Di Sagea, ujar Mardani, Save Sagea yang akan memasuki satu dekade pada akhir tahun ini, adalah "benteng terakhir gerakan perjuangan ruang hidup kita."
Selain diskusi publik, juga diadakan pameran foto tentang kehidupan sosial masyarakat. Pameran foto lebih berfokus kepada kehidupan dan keseharian masyarakat Sagea yang terdampak langsung pada Proyek Strategis Nasional ( PSN) dan Hilirisasi Nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang ditetapkan mantan Presiden Joko Widodo.
Dalam sesi memperkenalkan Sekolah Perempuan Pesisir Halmahera, Rifya Rusdi mengatakan, komunitas ini merupakan wadah pendidikan karakter dan kepemimpinan bagi perempuan yang rentan menghadapi ancaman Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh negara. Banyaknya angka putus sekolah maupun pernikahan dini menjadi salah satu latar belakang dan konsen dari pembentukan komunitas ini. "Mulai tahun 2018, semenjak PT. IWIP beroperasi, masyarakat merasakan dampak yang signifikan terhadap ruang hidup bagi perempuan. Selain itu ada pengabaian terhadap suara-suara perempuan dalam pengambil keputusan kerap terjadi dan dianggap normal," kata dia. "Padahal perempuan yang paling rentan dalam menghadapi situasi serta dampak yang ditimbulkan dari proyek industri tersebut."
Potret Goa Bokimoruru di mana Sungai Sagea muncul sebelum tercemar. Foto: FWI