Merauke Menolak Babak Belur Karena Food Estate
Penulis : Aryo Bhawono
Food Estate
Kamis, 17 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Solidaritas Merauke mendesak pemerintah menghentikan program food estate Merauke, Papua Selatan. Proyek food estate sudah berkali-kali gagal namun justru diteruskan di hampir semua rezim presiden. Merauke sendiri juga babak belur kena perampasan lahan dan deforetasi karena food estate.
Solidaritas Merauke yang terdiri dari perwakilan warga Merauke dan beberapa kelompok masyarakat sipil menggelar aksi demonstrasi mendesak penghentian proyek food estate Merauke tersebut di kantor Kementerian Pertahanan di Jakarta pada Rabu (16/10/2024). Beberapa demonstran menggelar spanduk desakan penghentian di belakang peserta aksi yang menggunakan pakaian tradisional Papua.
Pastor Pius Manu, tokoh agama dan pemilik tanah adat, menyebutkan proyek itu berlangsung brutal karena berjalan tanpa ada sosialisasi dan tanpa didahului konsultasi untuk mendapatkan kesepakatan persetujuan masyarakat adat.
“Kendaraan ekskavator dan buldozer perusahaan masuk ke wilayah adat kami, amuk, menggusur dan menghancurkan hutan alam, dusun, dan rawa,” ucapnya dalam jumpa pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta usai demonstrasi.
Pada November 2023 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menerbitkan Permenko No 8 Tahun 2023 Tentang Perubahan Keempat atas Permenko No 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) pada November 2023, yang menambahkan daftar PSN di Papua yakni Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan.
Peta analisis tumpang tindih penggunaan kawasan hutan merauke untuk cetak sawah 1 juta ha. Dok. PUSAKA
Pemerintah mempromosikan dan merencanakan proyek PSN Merauke seluas lebih dari 2 juta hektare pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) untuk proyek cetak sawah baru seluas sejuta hektar dan perkebunan tanaman tebu dan bioetanol. Kawasan KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di 13 distrik, seluruhnya berada di wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei. Diperkirakan lebih dari 50 ribu penduduk asli yang berdiam di 40 kampung sekitar dan dalam lokasi proyek akan terdampak oleh proyek PSN Merauke.
Food Estate Merauke terbagi dalam tiga proyek. Pertama, proyek pengembangan perkebunan tebu dan bioethanol yang dikelola 10 perusahaan dan didukung Kementerian Investasi/ Kepala Badan Penanaman Modal dengan pemberian izin dengan lahan seluas lebih dari 500.000 ha. Perusahaan ini dimiliki dan dikontrol dua pengusaha dan perusahaan perkebunan raksasa dunia yakni Martias Fangiono dan anaknya Wirastuty Fangiono yang menguasai First Resources Group dan/atau FAP Fangiono Agro Plantation (FAP) Agri Group, dan Martua Sitorus, pemilik dan pendiri KPN Corp. Group.
Kedua, proyek optimalisasi lahan (Oplah) pertanian melalui mekanisasi pertanian, pembuatan saluran irigasi, pemberian alat mesin pertanian (alsintan) pada enam distrik yakni Distrik Kurik, Tanah Miring, Merauke, Semangga, Jagebob dan Malind, dengan lahan seluas 40.000 ha dan akan diperluas hingga 100.000 ha, yang dikelola oleh Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, TNI, petani, dan mahasiswa Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan).
Ketiga, proyek cetak sawah baru dikelola oleh Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, dan perusahaan swasta Jhonlin Group milik Haji Andi Syamsuddin Arsyad alias haji Isam, dengan lahan seluas sejuta ha.
Pemerintah daerah dan pusat telah menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Surat Rekomendasi Pelepasan Kawasan Hutan kepada 10 perusahaan perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol pada periode 2023 dan 2024, dengan lahan seluas 541.094,37 ha.
Pada Juli 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan Keputusan No 835 Tahun 2024 tentang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Ketahanan Pangan dalam Rangka Pertahanan dan Keamanan Atas Nama Kemhan RI seluas 13.540 ha pada Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang berlokasi di Distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel dan Muting, Kabupaten Merauke.
Aparat keamanan pun dikerahkan untuk mengawal proyek ini dengan mengesampingkan hak masyarakat adat yang ada. Seperti yang terjadi di lapangan Wanam, Distrik Ilwayab. Polisi dan tentara mengawal operator proyek Jhonlin Group menurunkan peralatan berat. Selanjutnya aktivitas penggusuran dan perusakan sumber hidup masyarakat adat dilakukan. Hutan adat, dusun, rawa dan tanah-tanah keramat, yang dikelola dan dilindungi masyarakat adat dibabat.
Seorang masyarakat adat di tengah hutan adat yang telah digusur untuk pembangunan proyek cetak 1 juta ha.
“Kami terluka dan berduka karena tanah dan hutan adat, tempat hidup binatang dan tempat sakral Alipinek yang kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa,” ungkap Yasinta Gebze, perwakilan masyarakat adat terdampak dari Kampung Wobikel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Kehadiran aparat justru menjadi intimidasi terhadap warga dan pemilik tanah meski mereka merayu dengan memberikan bingkisan sembako dan uang kompensasi di kantor institusi militer. Ironisnya Panglima TNI mengeluarkan kebijakan pembentukan dan penambahan lima Batalyon Infanteri untuk mendukung program ketahanan pangan di Papua, yang menimbulkan reaksi kekhawatiran dan rasa tidak aman bagi masyarakat adat Malind, Maklew, Mayo Bodol, Khimaima, dan Yei, di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Di daerah Jagebob dan Senayu, perusahaan perkebunan tebu Global Papua Abadi Group (GPA) menggusur hutan, savana dan rawa, sumber mata pencaharian masyarakat, sumber pangan, menghilangkan kawasan hutan dan lahan gambut bernilai konservasi tinggi.
“Kami tidak jual tanah adat. Hutan dan dusun milik marga tidak luas. Kami mau kelola sendiri untuk mata pencaharian dan sumber pangan, hingga anak cucu,” ungkap Vincent Kwipalo, warga Suku Yei yang menolak proyek perkebunan tebu, meskipun perusahaan telah mematok tanahnya dan membuat surat pengalihan hak atas tanah.
Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup, Franky Samperante, menyebutkan areal cetak sawah baru sejuta hektar dan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB). Areal GPA Group lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 ha berada di PIPIB, karenanya proyek ini mempunyai risiko lingkungan hidup, utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi.
“Selain itu, izin perusahaan GPA sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektar dan berisiko secara sosial ekonomi dan budaya”, kata dia.
Juru Bicara Solidaritas Merauke dan aktivis LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, menyebutkan prinsip dan ketentuan pembangunan berkelanjutan mewajibkan perencana dan pelaksana pembangunan memiliki dokumen lingkungan, melaksanakan kajian penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi dan penilaian ketersediaan karbon tinggi, serta menerapkan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).
Gempuran proyek PSN Merauke dan bisnis ekstraksi sumber daya alam seluas lebih dua juta hektare dipastikan akan mendatangkan dan memobilisasi penduduk baru dari luar Tanah Papua. Masyarakat Asli Papua justru mengalami etnosida, tersingkir secara ekonomi, budaya, dan sosial. “Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan,” ucap dia.
Mereka pun mendesak agar Presiden, Menhan, dan Menteri Investasi/Kepala BKPM, menghentikan PSN Merauke, untuk proyek pengembangan kebun tebu dan bioetanol, dan proyek cetak sawah baru sejuta hektare. Menteri LHK harus mengevaluasi dan melakukan audit lingkungan hidup, menilai ketaatan penanggung jawab badan usaha terhadap persyaratan hukum dan kelayakan lingkungan, serta memberikan sanksi pencabutan perizinan berusaha. Pemerintah harus mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, serta melakukan konsultasi yang bermakna dengan berbagai kelompok masyarakat adat atas berbagai proyek pembangunan sosial ekonomi di wilayah adat.
Aparat TNI dan Polri,kata mereka lagi, harus menghentikan pendekatan keamanan dan terlibat dalam proyek pembangunan komersial.
Koperasi, bukan korporasi pangan
Dalam kesempatan terpisah, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak pemerintah mencabut dan mengganti kebijakan food estate. Mereka menekankan pelaksanaan reforma agraria sejati (genuine) merupakan jalan swasembada dan kedaulatan pangan yang berkeadilan.
Food Estate, menurut KPA, merupakan legacy buruk pemerintahan Jokowi dan era-era sebelumnya, yang telah terbukti gagal dan merugikan hajat hidup petani dan banyak rakyat kecil. Jika pemerintahan baru, di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto, melanjutkan proyek ini maka mereka mewarisi peninggalan buruk itu.
Sekjen KPA, Dewi Kartika, menyebutkan setidaknya pemerintah perlu melakukan tiga langkah fundamental. Pertama, menempatkan kembali petani sebagai soko guru pembangunan dan produsen pangan yang utama bagi bangsa. Pemerintahan Prabowo harus memperkuat petani dan pusat-pusat usaha pertanian, peternakan dan pertambakan yang dimiliki rakyat.
Selama ini food estate justru memperkuat korporasi bahkan dengan cara yang tak wajar, sampai-sampai mengerahkan tentara untuk cetak sawah dan berladang. Apalagi mendorong korporasi tambang, disulap dan diserahi proyek cetak sawah baru di Merauke dan daerah lainnya.
Saat ini di Indonesia masih memiliki 17 juta petani kecil yang menjalankan usaha pertanian. Jika dirata-rata dengan angka gurem saja (pemilik lahan 0,5 ha), maka setidaknya ada 8,5 juta ha tanah pertanian rakyat yang sangat potensial untuk diperkuat dan dikembangkan menjadi usaha-usaha pertanian yang maju dan modern.
Angka tersebut belum termasuk petani menengah (pemilik lahan di atas 0,5 ha), buruh tani, penggarap, petambak dan nelayan.
“Artinya negeri kita sesungguhnya masih berlimpah dari sisi jumlah produsen pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional, bahkan mencapai surplus pangan, jika pemenuhannya kembali diletakan dan ditumpukan kepada petani sebagai soko guru pembangunan ke depan,” kata dia melalui rilis pers.
Kedua, membangun koperasi, bukan korporasi pangan. Proyek semacam food estate seharusnya berbentuk koperasi-koperasi produksi pangan yang dimiliki petani, serikat tani dan/atau badan-badan usaha milik petani.
Ketiga, ratusan triliun dana food estate dan program ketahanan pangan berbasis korporasi dan militer ini sebaiknya dialihkan untuk membangun, memperkuat, dan mengembangkan sentra-sentra usaha pertanian yang dimiliki petani. Usaha-usaha pertanian rakyat selama ini terus berupaya tetap bertahan di tengah pemiskinan struktural dan berada di bawah ancaman perampasan tanah dan konversi lahan pertanian demi PSN
“Jalan utama kedaulatan pangan seharusnya reforma agraria sebagai politik pangan bangsa. (Dengan ini) justru negara kita niscaya akan mampu mencapai swasembada pangan, secara mandiri, berdaulat, dan bermartabat,” kata dia.