Pelibatan Militer di PSN Merauke Bikin Orang Asli Papua Terancam
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Food Estate
Jumat, 04 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembentukan batalyon infanteri (yonif) di sejumlah daerah di Papua, untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah, menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat adat. Pelibatan aparat militer dalam pelaksanaan program ketahanan pangan dicemaskan akan mengancam dan menghilangkan hak hidup orang asli Papua.
Kekhawatiran tersebut dirasakan oleh masyarakat adat Malind, Maklew, Mayo Bodol, Khimaima, dan Yei, di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang sedang terancam dan terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi di Kabupaten Merauke. Proyek berupa cetak sawah baru, perkebunan tebu dan pabrik bioetanol, itu diperkirakan akan menggunakan dan sedang menggusur tanah adat, dusun dan hutan adat seluas lebih dari 2 juta hektare.
Praktik PSN Merauke ini dilakukan melibatkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, pemerintah daerah, serta perusahaan swasta, seperti Jhonlin Group, First Resources Group, dan KPN Corp. Group. Namun proyek tersebut mendapat penolakan dari masyarakat adat setempat.
Koordinator Forum Masyarakat Adat Malind Anim Kondo-Digoel, Simon Balagaize, menuturkan masyarakat adat Maklew di Distrik Ilwayab, Tubang, dan Okaba, secara terbuka telah menyatakan menolak proyek cetak sawah baru dan tanaman lain, yang menggusur tanah, dusun dan hutan adat, sumber kehidupan masyarakat adat tanpa ada musyawarah dan persetujuan secara bebas dari masyarakat adat dan pemilik tanah. Penolakan tersebut bahkan disampaikan di hadapan pejabat Gubernur Papua Selatan secara langsung.
"Namun perusahaan dan dikawal aparat militer bersenjata secara sewenang-wenang menggusur dan merampas tanah adat,” ujar Simon, dalam sebuah keterangan tertulis, Kamis (3/10/2024).
Pemerintah dan operator proyek PSN Merauke, lanjut Simon, telah melanggar hak dasar masyarakat adat, hak hidup, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Proyek ini bukan proyek kemanusiaan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak, melainkan bagian dari proyek pembesaran dan perluasan bisnis meraup keuntungan modal bagi kepentingan penguasa dan pengusaha pemilik modal, yang dilakukan dengan cara-cara tidak manusiawi dan merusak lingkungan hidup,” tutur Simon.
Di lapangan PSN Merauke, aparat militer bersenjata terlibat memfasilitasi, memperlancar dan mengamankan aktivitas perusahaan,
Juru Bicara #Solidaritas Merauke, J. Teddy Wakum, mengungkapkan, kondisi di lapangan, PSN Merauke, aparat militer bersenjata terlibat memfasilitasi, memperlancar dan mengamankan aktivitas perusahaan. Hal tersebut membawa kekhawatiran dan menciptakan rasa tidak aman bagi masyarakat adat.
"Keterlibatan militer dalam proyek food estate PSN Merauke berpotensi mengancam dan menghilangkan hak hidup orang asli Papua, akan memperluas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan dan kesewenang-wenangan, yang melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, serta kebijakan internasional berhubungan dengan prinsip dan tujuan pembangunan berkelanjutan,” tutur Teddy.
Teddy melanjutkan, pelibatan militer dalam proyek PSN Merauke juga tidak tepat dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, bertentangan dengan tujuan dan prinsip tentara profesional, yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia.
Karenanya, #Solidaritas Merauke dan Forum Masyarakat Adat Malind Kondo-Digoel meminta Panglima TNI membatalkan pembentukan batalyon baru di Tanah Papua, mengevaluasi dan menghentikan pendekatan keamanan dan keterlibatan militer dalam proyek komersial atas nama PSN Merauke.
"#Solidaritas Merauke dan Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digoel meminta Presiden RI Joko Widodo dan calon presiden terpilih Prabowo Subianto menghentikan PSN Merauke," kata Teddy.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, meresmikan pembentukan kesatuan tentara baru yakni yonif penyangga daerah rawan di lima daerah Papua, untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah. Lima batalyon dimaksud adalah Yonif 801/Ksatria Yuddha Kentsuwri di Kabupaten Keerom, Papua; Yonif 802/Wimane Mambe Jaya di Kabupaten Sarmi, Papua; Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan; Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha di Kabupaten Merauke, Papua Selatan; Yonif 805/Ksatria Satya Waninggap di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
“Lima batalyon di lima daerah di Papua bakal bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan masyarakat setempat untuk menanam komoditas pangan utama, salah satunya padi,” kata Agus Subiyanto, dalam sebuah jumpa pers, Rabu (2/10/2024).